Kamis, 29 Juli 2010

HAM (1) : Kenangan Buyat

Masih ingat peristiwa pencemaran Teluk Buyat - Sulawesi oleh akibat limbah tailing dari tambang emas PT. Newmont Minahasa Raya yang berlangsung sejak 1997 yang kemudian dinyatakan tak pernah ada oleh pemeirntah pusat? Gugatan Legal Standing WALHI mewakili masyarakat kalah di pengadilan. Tak lama, sebagian besar masyarakat Buyat yang selama ini bermukim di Pante Lakbah (68 keluarga) melakukan eksodus ke Desa Duminanga, Boolang Mongodow, yang berlangsung tahun tanggal 25-26 Juni 2005. Kisah paling kelam dari kehancuran ini adalah ANDINI. Andini adalah bayi yang lahir dalam keadaan seluruh tubuhnya dipenuhi luka (mirip daging bakar yang penuh bumbu) akibat terpapar merkuri dari tubuh ibunya, sebagaimana ibu-ibu lainnya. Andini meninggal dunia. Andini yang tak berdosa bahkan tak mampu menjadi saksi kuat atas kejahatan lingkungan yang dilegitimasi penguasa. Peristiwa ini tak jauh berbeda dengan kasus Minamata-Jepang atau pertambangan di China. Namun, ini nampak tak masuk akan untuk negeri surga bernama Indonesia. Laut, tanah, pohon, cacing hingga manusia perlahan-lahan hancur seperti dedaunan yang dimamah ulat atau bahkan lebih buruk dari itu. Bencana akibat kejahatan lingkungan bahkan lebih parah dari yang mungkin bisa kita bayangkan, setidaknya dalam persepsiku, sebab akan berlangsung sangat lama, lintas generasi dan lintas zaman.

Kasus ini telah sepi. Tak pernah lagi menjadi pembicaraan publik. Namun, ada pihak-pihak yang tak ingin semua ini dilupakan begitu saja. Kasus ini harus menjadi dongeng sebelum tidur anak-anak Indonesia, agar dimasa depan mereka tidak menjelma sebagai ayah atau ibu yang sanggup meracuni sumber-sumber kehidupan. Denny S.E Taroreh ’Dentar’ mengabadikan kisah tragis ini melalui seni fotografi yang menyayat hati. Kesedihan ini ditambahi pula oleh saja-sajak Jamal Rahman ’warga republik jalanan’, yang mengatakan bahwa surga tak hanya di akhirat.

Sayang sekali, aku tak dapat menghadirkan foto-fotonya. Tak apalah, untuk sementara sajak-sajak Jamal Rahman yang akan kubagi. Hanya ini yang bisa kuberikan untuk korban kejahatan lingkungan ini. Bahwa hatiku sama sedihnya. Untuk para Mama, para Ayah, Anak-anak, burung-burung, ikan-ikan, batu-batu, air, pasir, cacing... semua yang diciptakanNya.

Sepenggal kisah anak Buyat
‘Eksodud ke Tanah Harapan’
-sungguh ini bukan kisah Tanah Perjanjian yang tertulis dalam Kitab-Kitab Tua-

Once upon time in Buyat......
1.
tunggu sejenak Mama!
lihat bekas kaki kami waktu bermain tali tanah
juga ambilkan boneka itu
biar dia bersamaku melupakan jejak
yang sebentar lagi disapu gerimis

2.
jangan adikku!
jangan hapus jejak itu
biar aku yang menjaganya untukmu
biar ibu membendung sungai dimatamu
biara ayah membawa kita
pada jejak baru

3.
maafkan aku mama
aku tahu
sakitku
adalah teror
untukmu

4.
bahwa kemarin aku
senang ikut ayah melaut
karena yakin
kami bisa selalu kembali

bahwa kini aku meratapi
puing-puing ini
bukan sedih, namun sepi membayangi
bahwa besok, aku mungkin mmeilih disini
walau tahu itu tak pasti

5.
mungkin masa lalu dan harapan
selalu bersahabata dengan angin
tetangganya gumpalan awan

tapi mataku
hanya ingin
menyusuri tanah
kepala tak sanggup
mendongan ke atas

6.
masa lalu dan harapan itu
begitu jauh terseret angin
padahal mungkin esok
aku ingin tidur di awan
atau bermain tali tanah
di atas hamparan pelangi

7.
kepulan asap terus meninggi
tinggalkan nyala api
membakar tumpukan
kenangan ini

8.
aroma karbon
menyesakkan rongga dada
di sini harusnya
goropa atau babora yang
dipanggang
sebelum lezatnya terusik
berbagai jenis racun
kami selalu bernyanyi

9.
biru itu
entah kaku
entah menunggu
bukan memburu
tapi waktu
selalalu baru
akan terharu

10.
tepat diujung isakmu itu
mama, aku menangkap
degup kesedihan
kusangka itu pengesalan

11.
aku keliru mama......
tepat di muara airmatamu
aku melihat duka yang membatu
memang dingin dan lembab
tapi aku yakin
disana ikhlasmu bersemayam

12.
tuhan, ada apa ini?
aku tak mengerti
aku tak pernah memilih
memang takdirku
ada disini

akulah Andini
yang kau pilih
kulihat mereka bicara
tanpa kata hanya do’a
(prosesi pemakaman Andini)

13.
tuhan, duka itu
hiruk-pikuk ini
kapan berakhir
tolong redakan
tangis mereka
jangan padamkan
lenteraku

14.
tak ada yang lebih berharga
dari jiwa merdeka
jiwa yang menampik segala iming-iming
jiwa yang menantang segala ancaman
jiwa yang berani menatap mata kuasa
benar, semua harap
selalu hilang di biru cakrawala
tapi cita-cita kita
bukan ditangan siapa-siapa...

15.
kalian tak lagi peduli
kisah ini membuncah
dalam berita atau cerita
kali ini kita seperti
baru saja kalah perang
tapi tak menyerah jadi
tawanan
meski dunia terbahak
kalah menang hanya
perumpamaan
semua sebentar lagi
mengingkarinya

16.
Bukan sekedar
Hanya sepenggal kulit bumi
Kemarin ditinggali
Kini ditinggalkan
Namun jiwa kami disemangati
sekian lambaian

ada gemuruh yang tak terbendung
seperti jutaan buih yang
sebentar dilintasi
kemudian tiba di daratan
asing
sungguh ini bukan kisah yang
tertulis dalam kitab-kitab tua

Duminanga....Land of Hope....
17.
kami telah tiba
dengan memendam luka itu
disini, keringat
segera menetesi tanah
yang sejak kemarin
telah dibasahi air muka
wajah pribumi
selamat datang
di dunia beban!

18.
aku tak lagi bertanya
apakah ayah membawa kail
aku yakin di sini ada lahan
yang siap ditanami
dan bunda jangan ragu
di sini langit lebih biru
meski laut mengharu
bukankah duka itu
telah kita kubur?
memang liangnya,
di tanah seribu kisah

19.
di titik ini
kita belum jauh
tinggalkan kegalauan
seperti camar yang
selalu berkelompok
mari bersama tapaki cadas

20.
aku yakin
langit takkan menelan
kupu-kupu yang kemarin
mengajak kita bergurau

21.
kini hujan itu
benar-benar datang dimatamu
setelah yang kumiliki
hancur terlindas
terik sinar mata kuasa
terinjak kaki robot
bernama modal

betul katamu kawan
hujan tak selalu air
tapi sempat membuatmu basah
sungguh nanti kau akan
rindu pada awan
kawan, haruskah kita
melawan awan

22.
ujung malam akhirnya
memelukmu
dalam kematian
sementara
dan aku bukan sekedar
melayat
andini,
kata-kata juga
mengejarku
seperti
memburu awan yang mencair
diluar jendela
senja ini bawakan aku
hadiah
sebuah siang terbungkuas
kain hijau kusam
yang semenjak kemarin
hanya kau titip pada
langit malam

23.
(membangun bedeng triplek)
Jika sekat-sekat itu sebuah bingkai
Dari asa yang kita punya
Bagiku, bilik ini
Sekalipun semegah istana
Jangan sampai memenjara cinta

24.
padamu ibu aku berjanji
akan tetap mendengar rintih
dari nafasmu
dari desahmu
dari sisa teriakan
yang belum cukup didengar
dalam rangkulanmusemua jelas bagiku
kita masih akan lama
berputar-putar
dalam janji yang entah
berkah atau dusta

1 komentar:

  1. mbak saya bisa dapat contact mbak gk? email saya ayuoktama@gmail.com

    BalasHapus