Kamis, 29 Juli 2010

Diary (2) ; 29 Juli 2010


Surat yang urung kukirim pada beberapa orang kawan:

Pada tanggal 2 Juli, dapat sms dariku yang bunyinya begini, “Kawan2. Hari ini WALHI bersama NGO lain & Pak Anang dari DPD RI akan melakukan mediasi konflik antara BBTNBBS dan masyarakat Tanggamus. Mohon doa untuk kelancaran segala sesuatunya,”, kan? Beberapa kawan memberikan semangat dan dukungan. Bahkan beberapa kawan dari gerakan perempuan siap membantu. Sebenarnya aku membutuhkan respon untuk menjaga api semangat. Aku hanya suka berbagi pengalaman dengan beberapa kawan, untuk memperkaya pengetahuan dan memperluas jaringan.  Di WALHI aku belajar, “sehebat apapun kamu, tanpa berjaringan, kamu bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa’. Aku percaya bahwa setiap orang tengah berjuang untuk bangsa ini, dengan caranya masing-masing. Satu-satunya cara untuk menjaga api semangat dalam perjuangan adalah dengan menjaga kebersamaan. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.

Saat itu aku sedang dalam perjalanan menuju Tanggamus, tepatnya ke lokasi konflik yaitu di Pekon Pesanguan Kecamatan Pematang Sawa. Aku, Direktur WALHI, seorang relawan WALHI, Pak Anang Prihantoro dari DPD RI, kawan-kawan dari Yasadhana, Sertani, KPA dan SPI akan mengadakan semacam dengan pendapat dengan masyarakat dua Dusun yang pada tanggal 8 Juni 2010 lalu mengalami kenaasan karena gubuk-gubuk mereka dibakar dan tanaman-tanaman mereka dibabat Polhut (lucu kan: konservasi kok membakar gubuk & membabat tanaman. Padahal karbondioksida hasil pembakaran adalah salah satu penyebab pemanasan global dan ditebangnya pepohonan berarti melepaskan sekian persen CO2 ke udara dan hilangnya kesempatan produksi oksigen oleh pepohonan. Konservasi keblinger!). Sayang sekali, aku gak bisa ngitung rumus kimianya (berapa m3 karbondioksida yang dihasilkan pembakaran 44 unit gubuk beserta segala isinya, berapa m3 karbondioksida yang tidak terikat akibat ditebangnya sekitar 20.000 batang pohon coklat dan kopi serta ratusan pohon durian, petai dan duku?). Sebab bicara konservasi pasti bicara pengikatan karbon oleh pepohonan dan minimalisasi pelepasan zat-zat kimia lainnya ke udara seperi zat metan akibat pembakaran dan pembusukan dedaunan/humus.   

Pertama-tama, kami mampir di kediaman Kepala Pekon Way Nipah. Wah, beliau berceloteh (marah tepatnya) tentang kesewenang-wenangan pemerintah (ya Dephut, ya BBTNBBS, ya polisi, ya TNI, ya Polhut, ya...semua yang terlibat dalam peroses pembodohan masyarakat). Beliau menyesalkan kesembronoan pemerintah dalam membodohi masyarakat dengan dalih pelestarian hutan. Padahal, sejarahanya, kegundulan di sebagian wilayah TNBBS disebabkan oleh HPH beberapa perusahaan seperti PT Andatu yang beroperasi tahun 1970-an. Masyarakat yang berdatangan ke lokasi tersebut hanya memanfaatkan lahan eks Andatu yang tinggal ilalang (pohonnya – yang menjadi balok-balok kayu dan logs- udah habis diekspor entah kemana). Sementara itu, wilayah tersebut ditetapkan sebagai hutan konservasi dengan status Taman Nasional pada tahun 1985, itu pun karena sebagian wilayah adat masyarakat Lampung diserahkan kepada negara. Nah, duluan mana antara masyarakat yang mengelola wilayah tersebut dengan penetapan sebagai TN? Kenapa juga harus ditetapkan sebagai TN? Gak logis kan klo negara maen usir gitu aja?!

Pak Peratin menegaskan kekecewaannya pada egoisme negara. Negara selalu bicara hukum, undang-undang, peraturan dan segala hal yang mengikat, tapi negara tidak pernah membuat masyarakat melek hukum. UU Kehutanan itu apa sih isinya sehingga ketika bicara pengusiran masyarakat harus mematuhi UU tersebut? Sesakral apakah UU tersebut? Memangnya negara pernah melakukan sosialisasi ke masyarakat di lapisan paling bawah tentang isi dan substansi UU tersebut dan UU lainnya?! Anggota dewan juga sama aja sikapnya (pas kampanye mereka berduyun-duyun nyari dukungan hingga ke pelosok-pelosok, tapi pas udah jadi mengerut semua di balik kursi dengan 1001 alasan). Masyarakat mau mengadukan perkara ini kemana?

Memasuki kawasan hutan adat untuk kesekian kalinya, aku merasa sumringah sebab keindahan orisinil yang terhampar di teluk Semaka. Hutan yang lebat dengan kabut yang saling berjalinan diantara pepohonan. Subhanalloh, keadilan macam apakah yang hendak ditegakkan negara di tanah ini? Negara sellau mengklaim wilayah-wilayah indah seperti ini sebagai miliknya, namun tidak digunakannya untuk kehidupan rakyat melainkan sebagai pintu masuk investasi bisnis konservsi dari negara asing yang dibantu NGO konservasi.

Di perjalanan, sebelum masuk ke lokasi pertemuan, aku melihat sisa-sisa pos Polhut yang katanya dibakar masyarakat. Dibakar masyarakat? Dibakar oknum yang memancing di air keruh? Atau dibakar Polhut sendiri untuk mengkambing hitamkan masyarakat? Tak ada yang melakukan identifikasi di TKP. Tak ada juga police line. Namun, itulah saksi atas akumulasi kepentingan yang bertolak belakang, bahwa negara selalu menganggap rakyat sebagai musuh.

Masyarakat sudah menunggu sejak pukul 10 pagi dan kami baru tiba ba’da dhuhur. Tak apa lah. Mereka menyambut kami semua dengan tatapan penuh harapan dan bahasa penyambutan yang sederhana. Lalu kami diajak untuk makan siang bersama di sebuah rumah. Subhanalloh, di tengah krisis pasca penghancuran harta benda, mereka masih sanggup menyediakan menu yang mewah (ada sambal ikan laut, sayuran, lalapan, kerupuk, dll), padahal mereka sudah gak punya uang, dan padahal sehari-hari mereka hanya makan nasi dengan garam atau lauk ikan asin dan sambal saja. Aku bertemu dengan masyarakat Pekon Pesanguan (dampingan WALHI) dan mereka menyambutku dengan sangat ramah, ”Terima kasih sudah mengunjungi kami, Mbak.” dan beberapa ibu memelukku seperti biasa, dengan pelukan yang hangat dan mesra, layaknya seorang ibu pada putrinya sendiri.

Pertemua berlangsung dalam guyuran hujan yang cukup lebat (gubrak! Tendanya rubuh), untung saja pertemuannya berlangsung di Mushola, jadi tenda rubuh pertemuan tetap berlangsung. Masyarakat menyampaikan luapan perasaan mereka, kekhawatiran, dan solusi yang mungkin bisa ditawarkan kami. Bang Muhlasin dari SPI menerangkan bahwa negara ini telah gagal dalam mengelola sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat sebagimana amanat UUD 1945 dan dalam melakukan re-distribusi tanah kepada rakyat sebagaimana yang diamanatkan UUPA 1950. Negara lebih suka terlibat dalam ’bisnis konservasi’ internasional yang menjadikan hutan sebagai produk unggulan. Mengapa pula negara harus mati-matian menjaga kelestarian hutan demi kepentingan negara-negara industri yang tidak mau mengurangi emisi karbonnya karena khawatir pada terjadinya pengangguran di negara mereka?

Sederhananya begini: saat negara terperangkap dalam gurita carbon trade/ dagang karbon dengan skema Reducing Emmission from Degradation and Deforestation / REDD, negara telah membantu negara-negara industri untuk tidak menurunkan emisinya akibat proses produksi. Namun, secara bersamaan negara berarti telah melakukan penjajahan secara struktural pada penduduk yang mengelola hutan, yang bermukim di sekitar dan didalam kawasan hutan, dan dengan sendirinya mereka terusir dari sumber-sumber kehidupannya. Kalau masyarakat tidak memiliki sumber-sumber kehidupan, berarti mereka harus menjadi buruh untuk sesuap nasi, dan diantaranya menjadi TKW/TKI ke negara-negara entah berantah. Nah, zaman modern kok perilaku manusia makin primitif ya?

”Merinding,” ucap beberapa orang saat mendengarkan orasi Direktur WALHI. Gimana enggak, WALHI kok dibilang provokator. Ya, marah besar lah. Memprovokasi masyarakat nganggo opo? WALHI berjuang untuk mewujudkan keadilan lingkungan. Keadilan lingkungan akan tercipta manakala terjaganya keseimbangan antara pelestarian hutan dan segala ekosistemnya termasuk akses masyarakat. Selama ini, negara memandang bahwa hutan ya tegakan pepohonan dan hewan-hewan yang ada didalamnya (kehidupan liar/wildlife), namun mengesampingkan keberadana manusia. Mengapa harus mengesampingkan manusia? Memangnya akan sebagus apa sih pelestarian alam tanpa campur tangan manusia. Gak ada gunanya bumi ini tanpa manusia? Kalau konsep konservasi di Indonesia meniru habis-habisan konsep konservasi Inggris, Eropa dan Amerika, ya itu namanya kita kembali ke zaman feodal. Sebab dalam konteks mereka, hutan konservasi diciptakan untuk kekuasaan dan kesenangan penguasa/ keluarga kerajaan dan itu menjadi plot mereka untuk mempertaruhkan gengsi antar negara. Konservasi di Indonesia harus berlandaskan pada kearifan lokal budaya Indonesia. Ngapain juga melihara hutan tropis kita memakai konsep konservasi negara-negara yang nggak punya hutan tropis.

Kemarahan WALHI dilatarbelakangi adanya pemberitaan yang mengatakan bahwa diindikasikan WALHI ada dibalik pembakaran Pos Polhut dan proses pembangkangan masyarakat. Mancing? Boleh. Sebagai organisasi lingkungan WALHI memiliki hak gugat ke pengadilan atas kerusakan yang dibiarkan BBTNBBS. Jika BBTNBBS mengklaim sudah melakukan upaya pelestarian hutan, kok bisa ada 16.000 KK yang mengelola di TNBBS selama sekian tahun? Artinya, BBTNBBS memang melakukan pembiaran hingga masalahnya semkain besar dan sulit ditangani. Kalau sudah 16.000 KK, bagaimana coba negara mau melakukan relokasi? Jumlah itu nggak sedikit, sementara tanah di Lampung ini sudah banyak dikapling para penguasa dan pengusaha. Dan rasanya tidak adil jika masyarakat yang sebanyak 16.000 KK yang hanya mengelola rata-rata 2 ha, hanya untuk penghidupan, diusir dan dianggap sebagai pencuri sementara Tomy Winata mendapatkan konsesi sekian ratus ha dan membangun TWNC/ Tambling Wildlife Natute Conservation, didalam lokasi TNBBS, untuk kesenangan para ilmuwan dan turis asing, dan mengambil keuntungan pribadi dan popularitasnya dari mekanisme dagang karbon (Tomy Winata adalah pengusaha yang peduli lingkungan. He..he...peduli lingkungan ya iyalah wong itu produk bisnisnya, dan menendang masyarakat. Masyarakat adat marga Belimbing di tanah Enclave aja nyaris ditendang demi pelestarian harimau dan buaya).

WALHI menyadari, bahwa untuk melakukan gugatan ke pengadilan membutuhkan dana yang cukup besar, menyita waktu dan pikiran. Aroma kekalahan sudah tercium, sebab belajar dari gugatan Buyat dan Lapindo. WALHI sebagai wakil masyarakat dan ekosistem kalah karena energi untuk menang sangat tipis (WALHI gak ada uang untuk bayar advokat handal dan membiayai prosesnya yang cukup mahal termasuk untuk melakukan riset mendalam). Maklum, NGO Advokasi jauh lebih miskin daripada NGO konservasi macam WWF, WCS dll. Mari selesaikan di luar pengadilan, dengan cara kekeluargaan. Selesaikan dan semoga ada win-win solution. Direktur juga mewanti-wanti masyarakat agar berhati-hati pada oknum yang ’menjual’ nama WALHI untuk mengeruk keuntungan pribadi. Karena posisi WALHI sering membuat oknum tertentu nekat membodohi masyarakat. Kepercayaan masyarakat yang tinggi pada WALHI sering membutakan mereka untuk tidak lagi mengoreksi oknum yang menipu mereka atas nama WALHI. Intinya, relasi antara masyarakat dan WALHI adalah: WALHI tidak memberi/ meminta uang pada masyarakat dan masyarakat tidak memberi/ meminta uang pada WALHI. WALHI hanya melakukan mediasi dan masyarakat harus melakukan swadaya untuk membangun kekuatannya.

Kalau pak Anang, ya bicara hal-hal normatif, maklum kan beliau pejabat negara. Motivasi, permohonan maaf dan sebagainya yang beliau sampaikan.

Apa hasil pertemuan ini?
Tanggal 9 Juli, kami dan para stakeholder akan melakukan pertemuan lanjutan (difasilitasi DPD RI) guna merumuskan sikap masyarakat terhadap hal ini. (bayangkan: masyarakat mengatakan bahwa mereka siap perang melawan BBTNBBS, bisa tambah kacau kan suasana?! Masa iya mau perang saudara kayak jaman dahulu kala). Hasil pertemuan ini akan dibawa ke hearing dengan DPRD Provinsi dan para pihak yang lebih banyak lagi, bulan Juli.

Di perjalanan (pergi –pulang) kami semua ngoceh tentang hasil pemilukada di beberapa kabupaten/kota. Kami semua (entah siapa yang milih) adalah termasuk golput alias kagak milih. ”Memilih adalah HAK, tapi kami menggunakan HAK untuk TIDAK MEMILIH.  Gak pernah ada yang diperbaiki, ngapain milih? Jadi oposan saja. Hidup rakyat! Hidup golput!” Kami bicara soal pembelian suara (oleh sembako dan kaos), sehingga pemilukada ini menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan para pemilik kerajaan di masing-masing kabupaten/kota. Kami biacara tentang kecerdasan para penguasa dalam melanggengkan kesetiaan para TS di daerah. Kami biasa tentang prediksi corak kepemimpinan di 5 hingga 30 tahun mendatang. Kami bicara tentang siapa penguasa yang ATMnya basah. Juga bicara tentang ketidak-independensi-an KPU. Mana ada yang netral di dunia ini! Person-person di KPU adalah milik para penguasa. Reformasi tak kalah kejam dari Orla dan Orba. Kekejaman, kelicikan dan kepicikan yang dilakukan terang-terangan.

Waktu menunjukkan pukul 22.30 wib saat kami memasuki Bandar Lampung. Alhamdulillah, satu langkah perjuangan sudah dilakukan. Hari ini, kami semua harus istirahat untuk melanjutkan perjuangan-perjuangan lainnya esok hari. Masyarakat sudah menanti solusi terbaik dari para pihak. Apa yang akan kulakukan? Aku sudah punya tugas yang lumayan berat. Harus bersiap-siap.

Key word dari pertemuan ini adalah: Petani adalah tanah. (seperti nelayan adalah laut)

Tanpa tanah mana ada petani. So, petani harus merebut akses kelola atas tanah agar bangsa ini dapat bertahan dan merdeka dari ketertindasan ’penjajahan’ pangan. Tanpa petani yang gigih berjuang itu, yang disebut pencuri oleh bangsnaya sendiri, mungkin sudah sejak lama bangsa ini gak punya hutan-hutan yang dibanyak tempat masih terjaga. Berterima kasih lah pada petani yang telah memasok pangan negeri ini.

Wallohu ’alam.

Save and keep my letters. I trust you.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar