Kamis, 29 Juli 2010

Diary (1), 28 Juli 2010


Catatan kecil:
Apa yang sesungguhnya dilakukan para pejuang, sehingga dunia menggelari mereka sebagai ‘pahlawan’? apakah setiap mereka yang digelari pahlawan merupakan seorang pejuang? Bagaimana dengan mereka yang tak tersentuh media sehingga jejaknya hilang dan tak pernah ditemukan, ibarat lumut yang terkubur akar beringin? Mungkin saja, sesungguhnya setiap orang adalah pejuang dan  layak digelari sebagai pahlawan.

Hari ini aku kembali menyaksikan drama kehidupan yang coba dikendalikan oleh para pejuang di kelas sosial rendah. Sebab kita bukan siapa-siapa dan mesti menggandeng tangan mereka yang berada di kelas sosial tinggi agar perjuangan ini dapat menjalankan mesinnya. Bangsa ini memang tak mengenal perbedaan kelas secara implisit, namun kelas sosial itu ada dan nyata. Kita yang miskin, bodoh, rendah dan kurang pengetahuan akan merasa rendah diri dihadapan mereka yang kaya, intelek, memiliki kekuasaan dan menguasai pikiran publik. Setiap orang nampaknya menyadari kedudukannya sehingga memposisikan diri dalam  ketidakseimbangan kelas yang nampak tak tampak.

Seperti saat bicara mengenai indikasi alih fungsi kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Way Halim Kota Bandar Lampung yang kelak akan menjadi sentra niaga. Ada sesuatu disana: tentang uang dan kekuasaan. Bahwa uang bisa membeli apapun termasuk benda yang menjadi milik publik, yang selama ini dilindungi guna menjaga alam agar tetap ramah kepada manusia. Bahwa kekuasaan dapat menundukkan kesetaraan status diantara sesama manusia. Kekuasaan dapat menumpulkan idealisme, impian, ketajaman pikiran, cinta, kasih sayang, kebersamaan, dan kesederhanaan. Uang dan kekuasaan dapat mengubah apapun yang dalam konteks perencanaan ‘kebaikan dan keadilan’ menjadi  konteks perencanaan besar ‘terbangunnya kerajaan bisnis yang langgeng’.

Dalam segitiga interaksi sosial: rakyat, penguasa dan pengusaha, pejuang selalu mendudukkan diri di posisi tengah. Sebagai mediator, meski terkadang sebagian diantara mereka kemudian banyak yang terserap ketiga sudut tersebut. Ada yang lelah dan memilih diam sebagaimana kebanyak rakyat yang hanya bias menangis saat dirinya ditindas kekuasaan dan uang. Ada yang kemudian tergiur untuk duduk di posisi aman dan terserap kedalam lingkaran rezim penguasa yang kemudian menumpulkan idealismenya. Ada yang kemudian memilih jalan untuk bekerjasama dengan pengusaha dan menikmati manis-anyirnya limpahan harta. Aku tak ingin membayangkan bahwa kelak mungkin aku akan mengalami apa yan dialami para pejuang yang terserap itu. Ada banyak kemungkinan yang hari ini tak pernah bisa diperkirakan, sebab terkadang jalan yang dilalui manusia harus berbelok tajam tanpa disangka-sangka dan tanpa rencana.

Dalam keyakinanku hingga saat ini, perjuangan merupakan jalan yang semakin dilalui semakin berat medannya. Dalam lingkaran zaman yang kacau balau ini, terkadang kuita tertipu oleh mereka yang menebar kabut di perjalanan sehingga terkadang sulit membedakan antara siapa pejuang, siapa pengkhianat dan siapa yang sekedar memanfaatkan momen untuk mengeruk keuntungan pribadi. 

Aku melihat semangat, ketika para pejuang dari kalangan nelayan tradisional itu begitu menggebu-gebu dalam meraih impian bagi kemaidian dan keadilan para nelayan tradisional di Lampung. Aku tak bisa membantu banyak. Aku hanya membantu hal-hal yang remeh-temeh. Namun, aku merasa bahagia sebab telah dapat meringankan pekerjaan mereka dalam rencana besar menyatukan kedaulatan nelayan tradisional Lampung. 

Jadwal kegiatan: 
1. Deklarasi Nelayan Tradisional Lampung (SENTRAL), tanggal 01 Agustus 2010 di Pekon Kunjir Kabupaten Lampung Selatan. 
2. Diskusi  mengani posisi petani pasca keluarnya PP No. 18 tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman di sekretariat Serikat Tani Indonesia (Sertani) Lampung. di Pahoman Bandar Lampung, pukul 09.30 wib.
3. Selama Agustus menggali data kesuksesan SHK PBL. 
4. Selama Agustus buat kelarin Novel untuk lomba menulis dari DKJ

Impian: 
Cinta. Kali ini hanya tentang cinta. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar