Senin, 09 Agustus 2010

Story: Janji Khadijah (2)

2
To: perempuanpemimpi@yahoo.com
From: pangeranpemimpi@yahoo.com
Date: 05/01/2010
Subject: Impian Nenek Khadijah

Kegembiraan tahun baru masih terasa di jalan-jalan. Rasanya telingaku masih mendengar riuh rendah gadis-gadis remaja yang bergembira saat langit dipenuhi kembang api. Tahun ini nampaknya akan diawali oleh kegembiraan meski disebagian tempat masih banyak diwarnai konflik, bencana, fenomena sosial seperti kemiskinan dan kisah bunuh diri. Aku berharap kotamu akan menjadi tempat yang nyaman bagi warganya dalam menjalani hari-hari hingga awal tahun berikutnya.

Aku berterima kasih kau mau berbagi denganku. Pertemuan kita di Bali waktu itu mungkin memang ditakdirkan untuk bermuara pada kisah ini. Aku menghormatimu. Kau perempuan yang tak saja cerdas, baik hati tapi juga supel. Pasca Bom Bali, orang-orang pasti akan menaruh curiga pada perempuan sepertimu. Ya maklum lah. Apalagi waktu itu kau melenggang kangkung di Pantai Kuta yang sedang dipenuhi turis asing. Pantai Kuta adalah tempat bagi orang-orang setengah telanjang, dan bukan perempuan berjilbab sepertimu. Aku geli pada ketidakpedulianmu waktu itu. Dasar perempuan keras kepala. Tapi benar juga, estetika berwisata membuat kemanusiaan kita terkungkung oleh style. Cara manusia menikmati alam menjadi terkotak-kotak. Andrea Hirata pernah menulis mengenai pengkotakan seperti itu dalam akses ekonomi di Belitong. Benar, memangnya kenapa kalau ke pantai tak menggunakan pakaian yang (dianggap) tepat yaitu bikini atau kolor saja? Memangnya pantai ini punyamu? Ah, kamu aneh sekali waktu itu.

Oh ya, aku juga terinspirasi oleh beberapa tulisanmu di facebook. Kau ini memang suka ngelantur kalau menulis. Ya, maaf, aku membacanya kalau lagi ngelantur juga. Supaya nyambung, he...he.... Atau memang itu gayamu hingga tak ada penerbit yang mau menerbitkan naskah novel yang katanya kau kirim itu. Sudah berapa naskah yang kau kirimkan? Kasihan sekali. Mungkin sebaiknya kau jadi PNS di Bappenas atau Depkeu saja daripada jadi penulis. Kuberi tahu satu hal padamu, setelah membacanya, aku berkhayal bahwa selain cantik, Khadijah memiliki pesona yang mengagumkan.

Hm, ngomong-ngomong siapa yang memberimu kado itu? Sepertinya dia seseorang yang spesial. Aku jadi cemburu (just kidding, ha...ha...). Aku menebak: saat menerimanya kau terpana sekaligus terkejut, kau mungkin bertanya siapa pengirimnya tapi temanmu tak tahu siapa pengirimnya, lantas kau tak peduli pada siap pengirimnya, lalu kau tersenyum senang dan menciumi mawar itu sampai tertidur. Benar kan? Oh ya, apa yang diceritakan buku itu tentang Ummul Mukminin Khadijah ra? Mengapa semua menjadi bernama Khadijah ya?

***
AYAH KHADIJAH MEMANG BAJINGAN. Lelaki tak tahu adat itu meninggalkan Khadijah, Ibunya yang tengah hamil lima bulan dan seorang adik Khadijah yang masih kecil. Entah setan dari pegunungan mana yang merasuki pikiran lelaki itu sehingga sampai hati meninggalkan keluarga kecilnya tanpa sepeserpun uang. Lelaki itu membawa semua uang miliknya. Lelaki itu pergi entah kemana. Lelaki itu tak pernah kembali hingga Khadijah telah menyelesaikan pendidikannya di bangku Universitas. Lelaki itu hilang ditelan bumi. Khadijah tak peduli lagi.

Sebagian besar keluarga membiarkan saja masalah yang menimpa ibu Khadijah. Mereka menuding bahwa itu adalah karma yang memang harus diterima karena, Nina, Ibu Khadijah, telah berani menikah dengan lelaki yang berbeda agama. Ya, dalam Islam itu Zina. Zina adalah dosa besar dan kehinaan yang sungguh tak bisa ditebus. Khadijah pun dijauhi anggota keluarga karena dianggap sebagai anak dari hasil perzinahan. Khadijah masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) ketika itu. Dia hanya bisa menangis saat sepupu-sepupunya mengejeknya sebagai anak jadah. Haram. Anak yang membawa kesialan pada keluarga dan masyarakat.

Ditengah keterpurukan itu, Nina yang tak lama lagi akan segera melahirkan anak ketiganya, lari kerumah ibunya yang dulu ditinggalkannya demi cinta buta. Nina bersujud di kaki ibunya memohon perlindungan perempuan tua itu untuk kedua putrinya yang maish kecil dan anak yang akan segera dilahirkannya. Nina berjanji bersedia melakukan apapun yang dihendaki ibunya asalkan ada tempat bernaung dan tumbuh bagi Khadijah dan adik-adiknya. Perempuan tua itu adalah seorang ibu. Hati seorang ibu seluas samudera yang mampu menampung segala. Dia menerima kembali putrinya yang durhaka dan menciumi kedua cucunya yang masih kecil.

Perempuan tua itu sehari-hari berdagang sayuran segar di pasar. Menjual sayur –mayur cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya sambil menunggu waktu panen kopi tiba. Kebun kopi peninggalan suaminya yang hanya 1 hektare dirawat dengan sistem paroan oleh seorang tetangga. Setiap musim panen tiba, ia memperoleh uang cukup untuk memenuhi kebutuhannya dan menabung. Saat putrinya datang dengan kedua cucu kecilnya, ia merasa penciumannya dipenuhi aroma kembang kopi segar yang akan berbuah lebat untuk musim selanjutnya.

Perempuan tua yang segera dipanggil nenek oleh Khadijah dan adiknya, Aisyah, merasa sangat senang. Neneknya berencana memasukkan Khadijah ke sebuah pesantren apabila ia telah lulus SD. Neneknya ingin Khadijah mempeorleh pelajaran tentang akhlakul karimah sehingga tak meniru perilaku ibunya jika sudah dewasa. Neneknya melihat Khadijah cukup rajin beribadah dan sangat tekun dalam belajar. Ia telah mempelajari beberapa karakteristik pondok pesantren yang ada di kecamatan. Ada sebuah Ponpes besar yang sudah puluhan tahun berdiri dan menghasilkan lulusan yang baik. Neneknya ingin Khadijah memiliki masa depan yang baik, seperti menjadi santriwati teladan sehingga dapat menikah dengan keluarga Ustadz.

Saat Khadijah duduk di kelas 6 SD, Neneknya menyampaikan niat baik itu dan Khadijah merasa senang meskipun ia sangat ingin melanjutkan sekolah ke sekolah umum sebagaimana pilihan para sepupu dan teman-temannya. Khadijah berpikir mungkin neneknya tidak punya uang untuk membiayainya jika ia masuk sekolah umum. Khadijah memendam perasaan itu hingga sering mengigau saat tidur. Ia ingin masuk sekolah negeri. Semua igauan itu didengar ibunya dan ibunya tak kuasa menahan kesedihan karena nasib suram yang mungkin dialami putrinya.

Maka Nina memutuskan untuk menjadi TKW. Ia berangkat ke Taiwan untuk menjadi PRT. Dia tak peduli pada nasibnya sendiri. Nina hanya peduli pada Khadijah dan kedua putrinya yang lain. Nina tak mungkin membebankan persoalan masa depan ketiga putrinya pada ibunya yang sudah tua. Nina mengambil langkah strategis dalam menyelamatkan masa depan putrinya. Dengan menjadi PRT sekalipun, dan di negeri orang yang belum pernah dikunjunginya, ia rela. Ia akan mengirimkan sebagian gajinya setiap bulan untuk biaya hidup ketiga putrinya dan menabung sisanya untuk menyiapkan masa depan ketiga putrinya.

Sejak itu, Khadijah dan kedua adiknya hanya tinggal bersama nenek mereka. Khadijah berhasil masuk SMP terbaik di kecamatan dan boleh masuk pesantren jika ia sudah siap. Khadijah berjanji akan masuk pesantren sebagaimana keinginan neneknya. Khadijah hanya perlu waktu untuk melatih diri agar tidak kaget dengan ritme hidup pesantren yang sama sekali tidak dipahaminya. Khadijah berusaha belajar dengan rajin dan menyenangkan hati neneknya. Karena pembawaan Khadijah yang kalem dan menyenangkan, beberapa sepupunya mulai mendekat dan sering mengajaknya bermain. Beberapa paman dan bibi mulai terbuka. Khadijah merasa senang dan ia merasa bahwa Alloh swt selalu memberinya Rahmat meskipun kesedihan terus membayanginya karena ditinggalkan begitu saja oleh ayahnya.

Khadijah bukan tipe gadis yang membiarkan dirinya terus-menerus tenggelam dalam kesedihan. Kehilangan ayah dan ditinggalkan ibunya untuk bekerja di luar negeri tak membuatnya serta merta kehilangan gairah hidup. Khadijah sangat yakin bahwa ada hikmah istimewa yang sedang Alloh perlihatkan padanya. Karena itulah, setelah selesai ujian tahun pertamanya di SMP, Khadijah memutuskan untuk masuk pesantren. Hingga SMU Khadijah tinggal di pesantren. Gadis itu menjalani dua sistem pendidikan yang sama penting dan sama beratnya. Sesekali ia pulang ke rumah neneknya karena kangen dengan neneknya dan kedua adiknya.

Sebagaimana yang dijanjikan ibunya, setiap bulan Khadijah memperoleh kiriman uang dari Taiwan yang diterimanya melalui pos. Tak banyak, tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka sekeluarga. Lagipula neneknya sama sakali bukan tipe orang yang pelit. Sehingga Khadijah dan kedua adiknya tak pernah kekurangan suatu apapun. Mereka senang hidup bersama dalam kesedehanaan. Makan tiga kali sehari dengan sayur-mayur dan lauk seadanya, menghirup udara segar, membeli pakaian baru saat hari raya Idul Fitri, dan membeli peralatan skeolah baru saat kenaikan kelas. Ah, Khadijah merasa bersyukur dengan kehidupan yang dijalaninya.

Setiap bulan pula ibunya mengirimkan surat dari Taiwan. Ibunya menulis bahwa ia sudah mulai kerasan di negeri yang sangat jarang orang Islamnya. Ibunya menulis bahwa ia hanya seringkali merasa kesulitan saat harus menjalankan shalat lima waktu. Selain karena adanya perbedaan waktu, juga karena majikannya adalah seorang Protestan modern yang sama sekali tak memiliki toleransi beragama. Ibunya menulis, terkadang ia menangis saat harus menyiapkan masakan dengan menu daging babi atau makanan haram lainnya. Tapi majikannya mana mau mengerti, sebab bagi mereka semua yang diharamkan Islam tidaklah haram. Ibunya menulis kalau disana ia bekerja dengan keras.

Setiap kali menulis surat, ibunya selalu menulis sebuah kata maaf dan mengatakan bahwa Khadijah dan keluarga tak perlu mengkhawatirkannya. Ia merasa akan baik-baik saja, di ujung surat. Nina juga bercerita bahwa ia telah cukup mahir berbahasa Mandarin yang digunakan kebanyakan orang Taiwan, cukup terbiasa dengan budaya Taiwan dan musim yang berbeda-beda sepanjang tahun. Untuk menjaga imannya ia selalu menyempatkan diri berkumpul dengan sesama TKW asal Indonesia yang sering melakukan pertemuan dan pengajian yang difasilitasi oleh KBRI di Taipei. Mama baik-baik saja. Jangan khawatir, Geulis. Jaga adik-adikmu dan patuhlah pada Nenek. Ibu pasti akan pulang untuk kalian. Jangan lupa belajar yang rajin dan beribadahlah dengan ikhlas. Begitu tulis Nina, di akhir suratnya.

Khadijah tersenyum untuk segala kebaikan yang telah dikaruniakan Alloh untuknya dan orang-orang yang dicintainya. Karena itu, Khadijah semakin rajin belajar dan mengikuti setiap pelajaran di pesantren dengan baik. Sesekali hatinya menggebu-gebu ingin bertemu dengan ayahnya. Ia ingin sekali mengatakan pada ayahnya bahwa ia marah namun ia sangat menyayangi ayahnya. Khadijah memendam kerinduan itu dan berdo’a agar Alloh memberi hidayah pada ayahnya.

Dalam asuhan neneknya, Khadijah tumbuh menjadi remaja yang santun, rajin dan rendah hati. Beberapa keluarga sudah meliriknya. Khadijah adalah sosok yang tepat untuk dijadikan menantu. Namun, bila mengingat latar belakang ayah Khadijah yang Kristen dan punya perangai buruk, mereka berfikir ulang. Bisa saja Khadijah mewarisi sifat buruk ayahnya. Penilaian itu dilakukan beberapa keluarga yang memiliki anak laki-laki dan para orangtua yang merasa anak laki-laki mereka memiliki ketertarikan pada Khadijah. Masyarakat di desa itu tak mampu melupakan apa yang terjadi pada orangtua Khadijah. Mereka merasa kasihan pada gadis remaja itu. Terkadang para ibu menyesalkan nasib Khadijah yang malang. Mereka sering berbisik-bisisk, siapakah gerangan orangtua yang mau mengambil Khadijah sebagai menantu dan berbesan dengan keluarga tak beres.

Khadijah tak mendengar itu. Khadijah sedang sibuk belajar di pesantren. Khadijah sedang memenuhi impian neneknya untuk menjadi gadis yang baik dan membanggakan keluarga. Gadis yang tidak mempermalukan keluarga dengan mencederai kehormatan mereka sendiri. Di pesantren, Khadijah disukai teman-teman dan guru-gurunya karena ia gadis yang santun, baik hati, dermawan, rajin dan lembut. 

Bersambung...

Selasa, 03 Agustus 2010

Ya Rosululloh (Raihan)

Alangkah indahnya hidup ini
Andai dapat kutatap wajahmu
Kan pasti mengalir air mataku
Karena pancaran ketenanganmu

Alangkah indahnya hidup ini
Andai dapat kukecup tanganmu
Moga mengalir keberkatan dalam diriku
Untuk mengikut jejak langkahmu

Ya Rosululloh ya Habiballoh
Tak pernah tatap wajahmu
Ya Rosulalloh ya Habiballoh
Kami rindu padamu

Allohumma sholli ala Muhammad
Ya Robbi sholli alaihi wa sallim
Allohumma sholli ala Muhammad
Ya Robbi sholli alaihi wa sallim

Alangkah indahnya hidup ini
Andai dapat kedekap dirimu
Tiada kata yang dapat aku ucapkan
Hanya tuahn saja yang tahu

Ya Rosulalloh ya Habiballoh
Tak pernah kutatap wajahmu
Ya Rosullaoh ya Habiballoh
Kami rindu padamu

Ku tahu cintamu ke pada ummat
Ummati....ummati
Ku tahu bimbangnya tentang kami
Syafaatkan kami

Ya Rosulalloh ya Habiballoh
Terimalah kami sebagai umatmu
Ta Rosulalloh ya Habiballoh
Kurniakanlah syafaatmu
Ya Rosulalloh ya Habiballoh
Terimalah kami sebagai ummatmu
Ya Rosullaoh ya Habiballoh
Kurniakanlah syafaatmu

Allohumma sholli ala Muhammad
Ya Robbi sholli alaihi wa sallim
Allohumma sholli ala Muhammad
Ya Robbi sholli alaihi wa sallim

Senin, 02 Agustus 2010

Story : Janji Khadijah (1)

To: pangeranpemimpi@yahoo.com
From: perempuanpemimpi@yahoo.com
Date: 01/01/2010
Subject: Tidur Tanpa Dongeng

Pertama-tama aku ingin terlebih dahulu bercerita tentang saat-saat terakhir kita di Bali. Ingat tahun 2007 lalu? Saat aku pulang teman-temanku di Lampung ribut sekali karena oleh-oleh yang kubawa kurang banyak. Tepatnya kurang memuaskan mereka. Mereka saja yang hendak mengambil keuntungan dariku dengan menyembunyikan beberapa pin lalu meminta oleh-oleh lain padaku. Kain pantai, batik Bali, topi, syal, gantungan kunci dan buku-buku yang kubawa dari acara itu lenyap sudah entah kemana. Hugh, aku jadi tidak kebagian apapun. Jangan tertawakan aku! Ha…ha… menyebalkan.
Sepulang dari Bali hidupku biasa saja. Aku mengurusi pekerjaan dan melakukan beberapa kebiasaan yang sejak lima tahun lalu selalu kuandalkan untuk mengusir rasa sepi. Bagiku, kesepian yang menahun ini bagai karat yang mengerogoti tulang-tulang. Beberapa teman dekat yang selama ini sering melakukan kegiatan bersama sudah menikmati hidup mereka masing-masing. Aku ingin menjadi teman mereka yang baik. Teman yang tidak merepotkan. Teman yang tidak datang hanya ketika membutuhkan pertolongan. Teman yang tidak membuat mereka malu. Ya, aku harus menjadi teman yang 24 jam bersedia menjadi dewi penolong, yang mendengarkan keluhan-keluhan mereka, yang membalas sms mereka, yang membantu kesulitan mereka dan tidak membebani mereka dengan masalah-masalahku. Itu harga yang harus kubayar untuk persahabatan. Kupikir dengan demikian aku akan punya sahabat sejati yang akan menemaniku hingga kami sama-sama tua.
Aku tahu saat membaca ini kau akan tertawa. Tepatnya menertawakan aku. Kau benar, aku tak pernah bisa menjadi sahabat yang baik sebagaimana pernah kuceritakan padamu. Aku benci menjadi sahabat dari seseorang yang menjadikan aku hanya sekedar tempat pelarian masalah dan mereka melupakan aku ketika semua masalah itu telah selesai. Aku sudah menceritakan semua itu padamu. Aku tahu kau pasti bosan membacanya kembali melalui email ini. Sungguh, aku merindukan mereka. Aku ingin, ya, sekedar minum es teh atau makan kacang rebus di pinggir jalan seperti saat kami masih kuliah dulu. Semua kegiatan ringan itu cukup untuk menebus rasa kesepianku yang parah. Atau mungkin sekarang mereka tak membutuhkanku seperti dulu. Rasanya sedih sekali tak dibutuhkan sahabat-sahabat yang kita cintai. Mereka sahabat-sahabatku. Bagaimanapun, aku pernah mengisi ruang hati mereka sebagaimana ruang hatiku dipenuhi mereka. Aku merindukan sahabat-sahabatku dengan segala kepolosan dan kebodohan kami waktu itu. Kuharap, kau tak akan bosan. 
Semalam, langitku dipenuhi kembang api. Orang-orang meniup terompet. Ramai sekali. Pemuda, orangtua, anak-anak, gadis-gadis, mereka berkumpul di beberapa tempat umum seperti museum, lapangan merah, mal dan tentunya resort. Aku tahu di halaman museum yang luas, mereka memenuhi langit dengan kembang api yang indah dan berwarna-warni. Mereka juga menikmati malam pergantian tahun dengan makan sate kambing atau ayam khas Madura atau nasi goreng, beberapa diantara mereka mungkin juga makan jagung bakar atau minum kopi susu. Sebagian orang hanya ikut-ikutan merayakan pergantian tahun untuk mengatasi kejenuhan, sebab setiap orang sesungguhnya memiliki pergantian tahun mereka masing-masing. Pergantian tahunku bulan Mei.
Di balkon rumah, aku menyaksikan langit yang meriah. Sebelumnya, beberapa menit selepas waktu Isya, seorang teman mengantarkan kado dari seseorang untukku. Kau tahu apa isinya? Sebuah buku tentang Ummul Mukminin yang utama, Khadijah ra, dan setangkai mawar merah segar. Aku suka keduanya.
Kedua, posisiku disini sebagai orang kedua. Sesekali aku akan menyebut namanya agar lebih mudah dan aku akan menyebut anggota keluarganya sebagaimana Ia menyebutnya. Misalnya paman, bibi, kakek, nenek. Aku ingin agar aku seolah-olah menjadi ’Dia’. Ini penting. Aku tidak bisa menjadi orang ketiga, caraku bertutur akan sulit. 

***

KHADIJAH KECIL TERJAGA DIBALIK SELIMUT. Waktu itu pertengahan tahun 1990. Dia merasa kehilangan seseorang. Tubuh seseorang yang hilang itu tak ada disampingnya. Dikamar sebelah Ayahnya terbatuk-batuk sejak Ia pulang mengaji di Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) asuhan seorang pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) yang biasa dianggil Pak Otong. Khadijah mendengar napas Ayahnya tersengal-sengal. Terkadang Ia bisa melihat Ayahnya menggigil dan melipat tubuhnya agar hangat. Neneknya yang sudah tua, namanya Acih, seringkali memijat kepala Ayahnya yang katanya pusing seperti dipukul-pukul batu. Nenek Acih juga seringkali meletakkan handuk kecil di kening Ayahnya setelah merendamnya untuk beberapa saat didalam baskom berisi air hangat. Ayahnya sakit, begitu kata Nenek Acih, Paman Di dan Bibi Salma. Semuanya bilang Ayahnya sakit. Karena Ayahnya sakit maka Khadijah dan adiknya yang masih kecil tak boleh mendekat sebab bisa ketularan. Jika anak kecil demam sering ada anak jin yang mengganggu dan tentu saja akan menyusahkan keluarga. Khadijah tahu itu tak masuk akal, tapi gadis kecil itu menurut saja dan hanya mendengar lenguhan dan dengkuran Ayahnya dari kamar tempat Ia tidur sambil berbaring lurus dibawah selimut.
            Beberapa hari sebelumnya, Ayah dan Ibunya bertengkar. Ibunya kesal karena Ayahnya tak kunjung sembuh dari sakit sementara ia bosan harus hidup menumpang di rumah mertua. Ibunya tidak mau berbagi dengan adik iparnya, Paman Di, begitu pun dengan Bibi Salma yang tak lain merupakan istri Paman Di. Khdaijah tahu bahwa Ibunya dan Bibi Salma sering bertengkar karena hal sepele. Mereka saling bergunjing, tentunya untuk hal-hal buruk. Mereka saling mengadu kepada suami masing-masing dan Nenek Acih. Rumah ramai oleh Ibunya dan Bi Salma yang beradu mulut.
            Pertengkaran itu bisa saja disebabkan karena Ibunya yang tidak memberikan uang untuk membeli sayur sehingga Bibi Salma menganggap Ibunya hanya mau menumpang makan. Bibi Salma seringkali tidak mau memasak jika ia harus mengeluarkan uang sayur dari anggaran keluarganya untuk memenuhi kebutuhan makan seluruh keluarga. Permusuhan Ibu Khadijah dan Bibi Salma sering diibaratkan permusuhan abadi kucing dan anjing, sebab sama-sama keras kepala dan tak mau mengalah. Selain itu, mereka sering membesar-besarkan pemberian yang diberikan oleh masing-masing suami kepada keluarga besar Nenek Acih. Persoalan klasik dalam keluarga besar dengan beberapa keluarga.
            Begitulah, beberapa kasus kehancuran rumah tangga atau keluarga seringkali hanya disebabkan oleh persoalan sepele yang tak pernah dikomunikasikan dengan baik.
            ”Dasar perempuan!” begitulah Ayah Khadijah sering memaki Ibunya dan Paman Di memaki Bibi Salma. Khadijah selalu mengingat kata-kata yang sering diucapkan Ayahnya dan Paman Di jika sedang melihat istri mereka bertengkar sementara mereka pergi ke pos ronda untuk mengobrol atau sekedar memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang di jalanan. Kata-kata itu baginya seperti kilatan petir yang mematikan dan membuatnya merasa sedih. Apakah karena Ibunya dan Bibi Salma adalah perempuan sehingga mereka mempunyai perangai buruk seperti itu? Ya... begitulah Ayah dan Paman Khadijah sering mengatakan padanya dan pada adiknya yang masih sangat kecil. Begitulah perempuan dilahirkan, selalu membuat masalah dan menjadi beban.
            Ibu Khadijah tak tahan lagi dan ingin segera pulang ke rumah mereka di ibukota kabupaten. Tentu saja Ayahnya tak bisa sebab Ia sedang sakit keras sampai-sampai tak bisa bangun dari tempat tidur. Ayah Khadijah menjelma bayi besar yang hanya bisa merengek jika merasa terlalu lelah menahan sakitnya dan makan disuapi Nenek Acih. Keuangan keluarga tersedot untuk pengobatan Ayahnya dan Ibunya memandang keadaan ini akan memperburuk masa depan keluarga mereka. Ibu Khadijah marah dan Ia mengancam akan kabur. Ayah Khadijah menyilakan Ibu Khadijah pergi jika perempuan itu mau. ”Aku mau pergi saja. Aku sudak gak tahan hidup seperti ini. Kamu sakit, miskin dan kita menjadi beban untuk ibu kamu dan keluarga kamu. Aku mau pulang ke rumah orang tuaku dan akan membawa Nadia. Kalau bisa aku juga mau menjual rumah kita. Kamu harus setuju!” begitulah Ibunya memaksa sembari memasukkan seluruh pakainnya kedalam koper.
            Ayah Khadijah merasa terhina, ”Pergi sana kamu ke rumah orangtuamu dan jangan kembali lagi. Jangan kamu bawa anak-anakku!”, teriak lelaki itu keras-keras sebab Ibu Khadijah meninggalkan kamar begitu saja tanpa pamit dan membawa kopernya yang berisi pakaiannya dan pakaian Nadia. Nadia itu adik Khadijah yang waktu itu masih sangat kecil. ”Pergi saja kamu! Aku gak mau punya istri yang licik dan suka selingkuh. Kamu selingkuh dibelakangku! Kamu sudah menyakiti perasaanku dan membuatku merasa membenci diriku sendiri yang dikuasai perempuan kotor macam kamu. Hei jangan bawa anak-anakku! Jangan bawa Nadia!!”, teriak Ayah Khadijah dari dalam kamar dan Ibunya tak mau mendengarnya. Khadijah bisa melihat punggung Ayahnya bergetar hebat karena menahan amarah yang memuncak. Wajah Ayahnya yang penuh kasih mengeras dan memerah, pun dengan matanya yang menahan airmata.
            Kepergian Ibunya adalah tamparan keras bagi superioritas Ayah Khadijah sebagai seorang lelaki dan suami. Kepergian Ibu Khadijah secara tidak langsung menjadi sebuah pernyataan kepada keluarga dan masyarakat di desanya bahwa Ayah Khadijah adalah lelaki yang gagal menjalankan perannya terhadap perempuan, bahwa Ia adalah suami yang gagal menjaga keutuhan rumah tangganya dan bahwa Ia adalah manusia yang tak mampu menunjukkan kebenaran bahwa cinta tak selalu dibutuhkan dalam sebuah pernikahan. Buat keluarga besar mereka, kepergian Ibu Khadijah adalah kemenangan bagi pihak yang tak menyukai keutuhan keluarga besar mereka. Tentu saja tak perlu waktu lama bagi perempuan-perempuan tetangga di sekitar rumah mereka untuk bergunjing tentang keluarga mereka, Ayahnya, dirinya sendiri, Nadia dan masa depan keluarga mereka. Begitulah, ya, begitulah akhirnya Ayahnya ditakdirkan menghabiskan sisa hidupnya sebagai lelaki fatalis dan tak memiliki impian.
            Hm, sebenarnya Khadijah tak tahu apakah cerita itu benar atau tidak. Apakah sedramatias itu? Memorinya seakan-akan mengosongkan semua kenangan tentang masa kecilnya yang menyedihkan itu. Namun, Khadijah pernah mendengar sebagian cerita itu dari Ayahnya. Sebagiannya lagi dari Paman Di, Bibi Salma, Paman Ju dan Nenek Acih. Dia tak mau mempercayainya sebab Ia tak melihat Ayahnya dan Ibunya bertengkar hebat. Menurut Paman Di, Ibunya merebut Nadia untuk dibawa pergi dan Khadijah ditinggalkan bersama Ayahnya dan Nenek Acih. Seingat Khadijah, Ia merasa melihat Ibunya memandikan Nadia, membalur badan Nadia dengan minyak kayu putih, menaburinya dengan bedak bayi dan memakaikan pakaian yang baru di tubuh kecil adiknya. Saat itu Khadijah berdiri disamping amben dan melihat Ibunya mendandani Nadia. ”Kenapa Ibu enggak bawa Aku,?” Tanya Khadijah polos sebab Dia merasa iri karena Ibunya hanya mendandani Nadia dan memasukkan seluruh keperluan Nadia kedalam sebuah koper kecil. Ibunya terus saja mendandani Nadia. Menyisir rambutnya yang tipis dan pirang seperti rambut jagung, membenahi bedak yang terlalu tebal di beberapa bagian pipi putih milik Nadia. Ibunya melakukan semua itu dengan terburu-buru dan wajah yang pucat.
            Khadijah terus berdiri disamping amben memperhatikan Ibunya dan Nadia bergantian. Tak lama Ibunya menoleh padanya dan berkata, ”Dian, Nadia masih kecil, Ibu akan membawa Nadia pergi. Kamu disini baik-baik sama Ayah, Paman, Bibi dan Nenek ya..” Ibunya mengelus-elus rambut Khadijah yang panjang sepinggang dan berwarna hitam. ”Kapan-kapan Ibu kesini nengok kamu ya Nak ya...sekarang kamu sama Nenek ya”, dan Ibunya meneteskan air mata sembari terus membenahi pakaian Nadia. Nadia tersenyum pada Khadijah dan jemari mungilnya yang putih bersih hendak menjangkau hidungnya. Mereka kakak beradik yang sedang bingung dan harus saling melindungi. Khadijah tersenyum dan menyambut uluran tangan adiknya. Seolah Nadia ingin mengucapkan salam perpisahan padanya. Dia tak tahu apa yang kemudian terjadi antara dirinya dan Nadia, Khadijah masih sangat kecil ketika itu.
            Menurut cerita Nenek Acih pada Khadijah, ya... Nenek Acih bercerita tentang penggalan kisah ini kepada Khadijah saat gadis itu mendesaknya menceritakan kejadian yang membuat Ayah dan Ibunya berpisah. Nenek Acih bilang sewaktu Ibunya menggendong Nadia dan membawa kopernya ke ruang tengah, Paman Di dengan sigap merebut Nadia dari pangkuan Ibunya dan membawanya pergi ke pekarangan rumah salah seorang tetangga mereka. Neneknya menirukan ucapan Paman Di saat itu, ”Jangan bawa Nadia! Nadia putri kakakku dan Nadia keponakanku. Kalau kamu mau pergi, sana... pergi dan jangan kembali lagi! Jangan bawa Nadia ataupun Dian. Aku dan Ambu yang akan menjaga mereka jika kamu memang tetap mau meninggalkan rumah ini!”, begitulah Paman Di berkata-kata dipenuhi kemarahan kepada Ibunya dan langsung membawa Nadia jauh dari rumah agar ibunya tak dapat menemukannya.
            Ibunya pergi, sendirian. Khadijah tidak ingat apakah saat itu Ibunya melangkahkan kakinya yang kanan atau yang kiri saat keluar rumah. Khadijah tak ingat berapa jumlah koper yang Ibunya bawa. Khadijah tak ingat apakah Ibunya sempat menciumnya atau menoleh kepadanya sambil bercucuran air mata seperti yang seringkali Ia lihat dalam sinetron. Khadijah tak tahu apakah hati Ibunya remuk redam saat itu. Atau hati selain hati Ibunya yang justru remuk redam? Khadijah tak ingat apa yang Ibunya ucapkan padanya atau pada keluarga mereka yang marah saat itu. Yang Khadijah ingat dirinya menangis keras-keras dan Ia meronta-ronta dalam pelukan perempuan muda dan cantik yang ternyata adalah Bibi Nina, adik ayahnya. Khadijah menangis sebab perempuan-perempuan yang menyaksikan kepergian Ibunya yang juga menangis. Mereka bergantian menatapnya dan Ibunya. Tatapan bingung, iba, aneh dan benci. Khadijah tak tahu mengapa mereka menangis. Kata Nenek Acih dan Bibi Nina, waktu itu Ia berteriak-teriak dan menangis histeris sampai kedua matanya sembab.
            ”Ibu jangan pergi! Jangan pergi...jangan pergi, Ibu jangan pergi”, Nenek Acih menirukan sikap Khadijah saat Ia menangis sebab ditinggalkan Ibunya. Nenek Acih juga bilang bahwa dia menangis sampai tertidur dan sejak saat itu dia jarang menangis. Ya, seingatnya Ia lebih sering asyik dengan pekerjaannya dan bermain dengan adiknya yang masih belajar berjalan. Khadijah sibuk bermain-main dengan teman-temannya dan hanya menangis saat makanannya terkena sambal atau cabai. Nenek Acih selalu mengulang-ulang ceritanya, bahwa sewaktu kecil Ia sangat cengeng, tidak bisa makan lauk sendiri sehingga harus disuapi, takut pada duri ikan, tidak bisa memakan makanan yang terkena sambal atau cabai dan Ia sering sakit-sakitan. Khadijah sakit karena kesepian.
            Masih menurut Nenek Acih, sewaktu kecil, jika sudah sampai tengah malam dan merasa kedinginan Khadijah menggulung tubuhnya sampai-sampai hampir menyerupai bola agar tidak kedinginan. Khadijah tidak terlalu suka tidur memakai selimut. Jika udara terlalu dingin, dia sering mengompol dan membuat Bibi Salma marah-marah sebab dia harus mencuci seprai dan menjemur kasur. Begitu beruang-ulang, kata Nenek cih dan Nenek cih selalu terkekeh-kekeh hingga keluar air mata jika bercerita bagian ini. Sejak kepergian Ibunya, Khadijah dan Nadia dirawat Nenek Acih, Ayahnya, Paman Di, Paman Ju, Bibi Salma, dan Bibi Nina. Paman Di dan Bibi Salma belum dikaruniai keturunan sehingga Paman Di memperlakukan mereka seperti anak kandungnya sendiri. Khadijah menjadi anak Paman Di dan istrinya, Bibi Salma.
            Kehilangan seorang ibu dan tinggal bersama Bibi Salma yang kemudian Ia anggap sebagai ibunya, tak serta merta membuat Khadijah lupa pada obsesinya sebagai anak kecil. Ia ingin Bibi Salma mendongeng atau bercerita tentang apa saja sebelum Ia tidur. Tapi, Khadijah tak mungkin memintanya. Ia tahu Bibi Salam bukan tipe ibu yang seperti itu. Bibi Salma tak suka seni dan Ia tipe perempuan praktis.
            Khadijah berjanji, jika dia telah menjadi seorang ibu, ia akan mewujudkan obsesinya itu untuk menyenangkan putri-putrinya, membacakan dongeng dan kisah-kisah masa lampau sebelum tidur. Dia akan bercerita tentang Cinderella, Putri Salju, Van Helsing, Peter Pan, R.A Kartini, Cut Nyak Dien, Siti Hawa, Ratu Balqis, Lady Diana, Aisyah, Khansa, Marsinah, Bunda Teresa, Ibu Tien Soeharto, Megawati Soekarnoputri, Emmy Hafidz, Rosiana Silalahi, Sandrina Malakiano, dan sebagainya. Khadijah ingin dalam tidurnya, putri-putrinya bermimpi indah dan bertemu dengan tokoh yang dia atau suaminya ceritakan menjelang mereka tidur.
            Khadijah sangat terobsesi dengan dongeng. Ya, benar, itu karena masa lalunya. Saat Khadijah kecil, saat pertama kalinya aku tidur tanpa ditemani Ibunya dan Ayahnya yang terbaring sakit dikamar sebelah, Ia merasa sangat kesepian. Kesepian itu adalah rasa yang yang tak mampu Ia definisikan. Kesepian adalah rasa yang hanya mampu direkam otak tanpa mampu diucapkan mulut. Saat itu, semalaman Khadijah tak bisa memejamkan mata dan hanya terbaring lurus dibalik selimut. Tak ada suara lembut Ibunya yang membisikkan doa sebelum tidur ditelinga kanan sambil mendekapnya penuh kehangatan. Tak ada lagi cerita-cerita tentang kancil, kura-kura, monyet, timun emas, raksasa, putri dan orangtua tirinya yang jahat atau kisah malaikat pencabut nyawa yang akan mengambil nyawa anak-anak yang melawan pada orangtuanya dengan kejam dan sakit. Khadijah beranggapan bahwa Ayahnya tak mengerti perasaannya.
            Malam itu Khadijah hanya memandangi seisi kamar dan telinganya mendengar lenguhan Ayahnya karena rasa sakit yang tak kunjung membaik. Khadijah merasa sakit yang dialami ayahnya semakin parah sebab Ayahnya tak bisa menelan makanan dan kata Nenek Acih, Ayahnya semakin kurus. Dan saat itu Khadijah bertekad aku harus belajar, belajar mengingat semua cerita yang disampaikan Ibunya menjelang kami tidur agar Ia tak lupa bahwa Ia memiliki seorang Ibu. Khadijah juga belajar membaca do’a menjelang tidur tanpa bimbingan Ibunya. Khadijah tertatih-tatih menghapal bismika allohumma ahya wa amut...dengan menyebut nama Allah yang menghidupkan dan mematikan.
            Dongeng. Tak ada lagi dongeng yang sayup-sayup Ia dengar ditelinganya menjelang tidur. Khadijah kehilangan kebahagiaan sepanjang hidupnya sebab tak mendengar dongeng yang dibisikkan Ibunya. Ayahnya terlalu sibuk dan dia hanya mendidiknya dan adiknya dengan keras untuk mencapai prestasi akademik yang bagus. Ayahnya sibuk mencari uang untuk membiayai Khadijah dan Nadia. Mereka tak boleh melawan dan Ayahnya tak mau membacakan dongeng untuknya atau Nadia. Atau mungkin Ayahnya sesekali membacakan dongeng sebelum Nadia tidur sebab Nadia masih sangat kecil waktu itu? Nadia juga anak yang manis dan menggemaskan karena cantik. Mungkin yang didengar Nadia dari Ayahnya adalah sebuah dongeng yang menceritakan bahwa mereka tak boleh jadi anak nakal dan melawan orangtua.
            Begitulah Khadijah. Lalu dia ingin bekerja sebagai pembaca dongeng bagi anak-anak bermasalah seperti dirinya. Dia ingin meluangkan sedikit waktu dalam hidupnya dari masalah-masalah pribadi dan sosial yang menjengkelkan. Sesuatu yang tak mungkin sering dilupakan banyak orang. Dan dongeng, Khadijah tetap ingin mendongeng. Jika bukan untuk putri-putrinya yang memang belum dilahirkannya, maka Dia mendongeng untuk setiap anak yang ingin mendengarkan dongeng. Apakah Kau kenal dengan seorang anak yang ingin mendengarkan dongeng? Kau, maukah Kau mendengarkan dongeng Khadijah? Khadijah merasa dirinya kekanak-kanakkan sebab dalam dirinya masih bergelayut kenangan masa kanak-kanakanya yang menempel pada hidupnya bagai lumut yang mengerak di bebatuan. Dalam dongengnya, Khadijah akan menceritakan kisah seorang gadis kecil yang setia menunggu Ibunya pulang sembari menyender di pagar bambu. Terkadang ia meneteskan air mata. Air mata dari sumur kesedihan yang sangat dalam.
            Khadijah memulai dongengnya, katanya: Gadis kecil itu, yang kini sudah bukan anak kecil lagi, selalu merasa kangen dengan Ibunya. Kangen pada suara lembutnya saat membacakan dongeng sebelum tidur. Gadis kecil itu tak mau tumbuh menjadi gadis dewasa sebelum ia bertemu dengan ibunya. Seperti kisah Peter Pan. Tapi gadis itu akhirnya tumbuh menjadi perempuan dewasa dan ibunya tak pernah pulang. Akhirnya gadis itu memutuskan untuk mendongeng pada gadis-gadis kecil yang sudah menunggu di tempat tidurnya yang empuk dan hangat. Dia akan medongeng tentang seorang gadis kecil yang berlari-lari gembira di atas rerumputan lalu menari bersama kunang-kunang.
            ”....Gadis kecil itu berlarian diantara kepak sayap kupu-kupu yang memanggil kunang-kunang. Kakinya yang telanjang bersentuhan dengan butir-butir embun. Kaki mungilnya yang halus membelai rumput-rumput itu dengan sebuah keyakinan bahwa hidup ini sesungguhnya diciptakan agar diantara makhluk saling mencintai. Seekor kupu-kupu mendarat di tepalak tangan gadis kecil itu, gadis itu tersenyum dan melepaskan kupu-kupu di tangannya untuk menari bersama kunang-kunang. Gadis kecil itu terus berlarian dan menari hingga malam tiba dan kunang-kunang bercahaya. Gadis itu menari bersama kunang-kunang dan membiarkan kupu-kupu tidur malam. Kupu-kupu harus tidur untuk menemaninya bermain keesokan hari. Hanya gadis kecil itu yang tak pernah tidur, gadis kecil itu selalu tersenyum dan tertawa-tawa sambil berlarian diantara kunang-kunang. Gadis itu tidak boleh berhenti tersenyum, tertawa dan menari sebab jika ia berhenti ia akan menangis. Jika gadis kecil itu menangis, maka dunia akan menjadi gelap gulita. Gadis kecil itu adalah peri. Peri kecil yang cantik dan selalu membawa kegembiraan. Selamat tidur, semoga kegembiraan dan keceriaan senantiasa menyertai hidup kita.” Khadijah menutup dongengnya dan dengan lembut ia membenahi selimut. Mata kanak-kanak yang terpejam selalu membuatnya teringat masa kecilnya. Lalu ia pergi ke kamarnya untuk memandangi langit atau mengerjakan tugas-tugas kuliahnya.
            Benar, Khadijah sempat menikmati hidup dengan dua mimpi masa kecilnya yang terkabul, yang menurut sebagian orang adalah kekonyolan. Bekerja di toko buku dan menjadi pendongeng. Khadijah bekerja di toko buku selama satu setengah tahun, dan menjadi pendongeng selama dua tahun. Khadijah mendongeng untuk anak-anak kecil di sebuah panti asuhan yang ia kunjungi setiap tiga kali dalam seminggu.

Bersambung...

Sabtu, 31 Juli 2010

Kisah perempuan (1) : Souad (seorang perempuan yang lolos dari pembunuhan atas nama kehormatan)

Aku seorang gadis. Karena itu mesti berjalan cepat-cepat, kepala menunduk, seolah-olah tengah menghitung jumlah langkah yang diayunkan. Seorang gadis sama sekali tidak boleh menyimpang dari jalannya, bahkan tengadah sedikit saja. Karena jika seorang laki-laki sempat menangkap pandangan matanya, seluruh desa akan mencapnya sebagai charmuta. Jika seorang perempuan tetangga yang sudah menikah atau seorang perempuan tua, atau siapapun yang memergoki dirinya keluar rumah tanpa ibu atau kakak perempuannya, tanpa domba, tanpa membawa seikat rumput kering atau sekantong buah ara, mereka akan menyebutnya charmuta. Seorang gadis mesti dikawinkan sebelum dia bisa mengangkat mata dan menatap lurus kedepan, atau sebelum dia sempat masuk ke sebuah toko, atau sebelum dia sempat mencabut alis dan mengenakan perhiasan. Ibuku dikawinkan pada usia empat belas tahun. Jika seorang gadis masih belum dikawinkan pada usia itu, seluruh desa akan mengolok-olok. Tetapi seorang gadis harus menunggu giliran untuk dikawinkan dalam keluarganya..." tulis Souad dalam lembar pertama memoarnya, yang membuatku bergidik ngeri dan bertanya, masyarakat macam apakah tempat ia ditakdirkan terlahir sebagai perempuan?

Souad adalah seorang gadis yang dilahirkan pada tahun 1957 (1958) di sebuah desa di Tepi Barat, Palestina. Souad adalah anak ketiga dari empat bersaudara dari seorang ibu bernama Laela, dan dari keempat anak tersebut ia hanya memiliki satu orang saudara laki-laki yaitu Asad, adik bungsunya. Ia juga punya dua adik perempuan dari ibu tirinya yang bernama Aicha. Ayahnya, Adnan, menikahi Aicha dengan harapan akan mempeorleh banyak anaka lelaki sebab istrinya, Laela membuatnya kesal dengan terus-menerus melahirkan anak perempuan. Baginya dan bagi lelaki di desanya, kelahiran anak perempuan adalah aib.

Karena tidak bersekolah, ia hanya bisa berbahasa Arab dan sangat awam dengan dunia sekelilingnya. Baginya, dunia hanyalah desa tempatnya tinggal dan kota tempat ayahnya menjual hasil kebun dan membeli kebutuhan rumah tangga.Gadis itu tidak tahu apakah bumi itu bulat atau datar. Yang dia ketahui, benar-benar dia ketahui adalah bahwa mereka mesti membenci orang-orang Yahudi, telah mengambil tanah airnya. Ayahnya menyebut mereka babi dan mereka semua dilarang keras berdekatan dengan orang Yahudi jika tidak ingin menjadi babi. satu-satunya anggota keluarga yang bersekolah adalah Assad, anak bungsu yang diperlakukan sebagai raja. "...sebagaimana yang telah kututurkan sebelumnya, didaerah asalku, terlahir sebagai perempuan merupakah sebuah kutukan: seorang istri pertama-tama mesti melahirkan anak laki-laki, sedikitnya satu orang. Dia akan menjadi bahan olokan jika hanya melahirkan anak perempuan. Paling banyak dua atau tiga anak perempuan diperlukan untuk mmebantu pekerjaan rumah tangga, untuk bekerja di ladang dan mengurus binatang ternak. Jika jumlah anak perempuan lebih dari dua atau tiga, itu merupakan malapetaka dan mereka musti disingkirkan secepat mungkin dari rumah atau keluarga. Aku hidup dalam lingkungan seperti itu sampai aku berusia delapan belas tahun, tidak tahu apa-apa kecuali bahwa aku tidak lebih berharga daripada seekor binatang karena aku seorang perempuan." Terang Soaud lagi. Assad, satu-satunya anak lelaki keluarga ayahnya, dapat melakukan apa saja, seperti sekolah dan menyandang tas, menonton film di bioskop, membeli baju-baju bagus, berjalan-jalan diata spunggung kuda layaknya pangeran dan bermain dengan teman-teman sebayanya. Asad, sebebas angin. Sedangkan ia dan saudara perempuan lainnya akan dikunci didalam rumah jika pekerjaan mereka telah selesai. Seumur hidup, ia tak akan bisa keluar rumah kecuali seorang lelaki menikahinya untuk menuju rumah baru. "...aku tidak akan pernah pergi melewati pintu itu, tidak akan pernah...."

Sebagai seorang anak perempuan, bersama saudara perempuannya, sehari-hari ia harus mengurus domba dan kambing karena ayahnya memiliki ternak domba dan kambing yang banyak. Souad bekerja lebih berat dibandingkan seekor kuda pengangkut beban. Pagi-pagi sekali Souad sudah pergi ke kandang untuk mengumpulkan ternak dan mengawal mereka ke padang rumput, bersama saudara perempuannya, Kainat, yang umurnya hanya setahun lebih tua darinya. Sedikit kesalahan yang dibuatnya dalam melakukan pekerjaan rumah tangga, seperti mencukur bulu domba dengan gunting yang begitu besar untuk ukuran jarinya, memerah susu domba betina, membuat keju, membuat roti, mencuci pakaian,terlambat pulang dari padang rumput dan sebagainya, maka ia akan dipukuli ayahnya dengan ikat pinggang.

"Ayahku begitu berkuasa, raja di rumah tangga, yang menjadi pemilik, yang memutuskan, yang memukuli dan menyiksa kami. Dia duduk disana dengan tenang sambil menghisap pipa tembakaunya di depan rumah, hidup bersama para perempuan yang diperlakukannya jauh lebih buruk daripada hewan ternak, terpasung sama sekali." Uangkapnya dan aku bisa merasakan betapa pedihnya ditakdirkan menjadi dirinya. "Ayahku bertubuh kecil dan kejam. Dia biasa membuka ikat pinggangnya dan berteriak... kenapa domba-domba itu pulang sendiri?!!....kemudian dia akan menjambak rambutku dan menyeretku ke dapur. Dia pernah memukuli aku saat sedang berlutut dan menarik rambutku seolah-olah akan mencabutnya dan memotongnya dengan gunting besar yang biasa digunakan untuk mencukur bulu domba. Aku hampir tidak punya rambut lagi yang tersisa. Aku bisa menangis, menjerit-jerit atau memohon belas kasihan, tetapi itu akan membuatnya terus memukuliku. Seingatku setiap hari kami dipukuli dengan ikat pinggang atau tongkat.....Suatu waktu dia mengikat kami, Kainat dan aku, kedua tangan kami dibelakang punggung, kaki kami terikat dan sebuah syal diikatkan kemulut kami untuk mencegah kami berteriak. kami berada dalam posisi seperti itu semalaman, terikat pada sebuah pintu di kandang. Kami bersama para binatang, tetapi bernasib jauh lebih buruk dari mereka." Itulah yang terjadi didesanya. Itulah hukum kaum lelaki.

Saat berusia sepuluh tahun, Souad mendapatkan menstruasi pertamanya. Ia begitu takut sehingga menyembunyikannya selama berbulan-bulan. Didesanya, perempuan yang telah mengalami menstruasi berarti dianggap dewasa dan berarti ia akan segera dikawinkan. Saat Noura, kakak pertamanya menikah, Souad telah berusia 15 tahun. Dia seharusnya sudah menikah, namun Kainat belum juga ada yang melamar sehingga ia harus menunggu. "Pada suatu hari aku menyajikan teh untuk kakekku, ayah dari ibuku dan aku maish bisa mengingat kata-katanya, ...ada baiknya kau kawin pada usia muda, kau punya bisa punya anak empat belas...dan seorang putra. itu baik sekali..."

Meskipun tidak bersekolah, Souad mampu menghitung domba yang berarti ia mampu menghitung jumlah anggota keluarganya. Ibunya punya empat belas anak, tujuh diantaranya hidup.Pada suatu hari Soaud baru tahu mengapa hanya mereka bertujuh yang hidup, saat usianya kurang dari sepuluh tahun. " Pada saat itu ibuku tengah terbaring di lantai beralaskan kulit domba. Dia sedang dalam proses melahirkan, dan bibiku Salima menungguinya, duduk diatas sebuah bantal. Kemudian terdengar sebuah jeritan dari ibuku, disusul oleh suara tangis bayi. Lalu dengan cepat ibuku mengambil kulit domba yang menjadi alas tidur dan membekapkannya pada sang bayi. Aku melihat bayi itu bergerak sekali, kemudian semuanya berakhir. dan sejak itu bayi itu tak ada lagi. bayi itu pastilah seorang perempuan. ...dan aku melihat itu berkali-kali... dan kudengar Noura berkata kepada ibunya...jika aku punya anak-anak perempuan, aku juga akan melakukan apa yang kau lakukan...begitulah cara ibuku terbebas dari tujuh anak perempuan yang dilahirkannya setelah Hanan, yang merupakan bayi perempuan terakhir yang selamat".

"Di desaku, jika para lelaki dewasa disuruh memilih antara seorang gadis dan sapi, mereka akan memilih sapi. Ayahku selalu mengulang-ulang tanpa henti, bahwa kami, kaum perempuan, tidak ada artinya. Seekor sapi menghasilkan susu dan anak sapi. kau bisa menjual keduanya dan membawa uangnya pulang. Sedangkan anak perempuan? apa yang didapatkan darinta? tidak ada. Dan akmi anak-anak perempuan tahu, karena sapi-sapi dan domba-domba tak pernah dipukuli". Souad dan saudara-saudara perempuannya selalu bergumul dengan kematian yang bisa datang kapan saja, menurut kemauan sang ayah. Bahkan ibu mereka pun tak mungkin mereka harapkan karena memperoleh perlakuan yang sama. Ketika berumur 17 tahun, Assad menjadi lelaki kejam sebagaimana ayah mereka dan memperlakukan ibu dan saurada-saudara perempuannya sebagaimana yang dilakukan oleh ayahnya. Bahkan Souad dan dua adik perempuannya, melihat Assad mencekik leher Hanan dengan kabel telepon dan Hanan mati. Souad tidak tahu mengapa Hanan diputuskan harus mati, dibunuh oleh Assad, adiknya.

Kemudian Noura, kakaknya, menikah dengan Hussein dan mereka berpindah ke rumah baru Hussein. Pernikahan dialngsungkan setelah kesepakatan antara dua keluarga, oleh laki-laki, dirasa memuaskan, dan perempuan tak tahu apa-apa. Pasca pernikahan nasib Noura tak berbeda dengan nasib ibunya, Nora sering dipukuli suaminya. Dan Souad jatuh cinta, pada usia tujuh belas tahun, pada seorang lelaki yang kelak akan dikawinkan dengannya. namun ia harus menunggu Kainat menikah terlebih dahulu. Dan lelaki bernama faiez itu tampan, cerdas dan membuat Souad takluk. Bagai membawa bara api ke badai salju, dia merayu Souad dan berjanji akan menikahinya secepatnya. Souad hamil. Karena ketakutan ia berusaha menutup-nutupinya dengan berbagai alasan. Sebab jika ketahuan ia akan menjadi aib keluarga dan ia akan dibunuh.

Faiez ingkar janji dan menghilang. Perut Souad yang semakin membesar membuat ketakutannya semakin menjadi sebab ia sudah menyadari bahwa ayahnya dan seluruh anggota keluarga telah mengetahui aib yang dilakukannya, bahwa ia hamil diluar pernikahan. Dan suatu hari, dengan diam-diam ia mendengarkan sebuah rapat keluarga, yang memutuskan bahwa seseorang diantara anggota keluarganya bertugas menghilangkan nyawanya, membunuhnya. Dan saat seluruh anggota keluarga pergi entah kemana, sebab semua memusuhinya, kakak Iparnya, Hussein muncul. Souad sudah tahu bahwa Hussein yang bertugas mengurusnya. Hussein membakarnya. Saat menyadari dirinya terbakar, Souad berlari menjauh sambil menjerit-jerit, dan ditengah perjalanan dia diselamatkan oleh sekumpulan perempuan yang kemudian membawanya ke rumah sakit.

Para dokter dan perawat di rumah sakit bersikap kasar padanya dan memperlakukannya dengan jijik. Mereka tak mampu berbuat banyak sebab kasusnya adalah kasus keluarga yang menjadi hal biasa di desanya. Lalu, seorang perempuan, Jaqueline, yang bekerja pada sebuah organisasi internasional bidang kemanusiaan, Terre des Hommes, berusaha menyelamatkannya dan berjanji akan membawanya ke Eropa. dalam kondisi tubuh terbakar, Ayahnya, Ibunya datang berkunjung dengan maksud untuk menuntaskan pembunuhan, dengan racun yang sebening air yang harus diminumnya, sebab jika tidak, maka Assad, adik lelaki yang disayanginya akan berurusan dengan polisi. Souad juga melahirkan anaknya yang kemudian dibawa pihak rumah sakit ke panti aishan dengan alasan, meskipun anaknya lelaki, tetap saja membawa aib sebab merupakan hasil hubungan diluar pernikahan. Dan akan itu akan menanggung aib itu seumur hidupnya, dimanapun dia berada. Dengan perjuangan keras, setelah melobi pimpinan organinsasinya yaitu tuan Edmond Kaiser, Jaqueline mulai mengurus dokumen pemindahan Souad ke Eropa. Dengan bantuan dokter Hassan, ia berhasil menuntaskan dokumen persetujuan keluarga Souad bahwa gadis malang itu telah mati dan akan dikuburkan di Eropa. Jaqueline juga telah menemukan Marwan, putra Souad di sebuah panti asuhan dan melobi mereka untuk mengambil gadis itu. Jaqueline juga, dengan perjuangan teramat sulit, berhasil melobi kenalannya di pihak Isreal untuk memuluskan visa bagi Souad dan putranya.

Tahun 1970, Souad dibawa ke Swiss dan putranya Marwan dinyatakan dilahirkan pada tanggal 20 Desember di Swiss. Disana Souad akan menjalani hidup barunya dan di desanya ia telah dianggap mati, untuk selamanya. berkali-kali ia harus menjalani operasi dan merasa takjub dengan masyarakat Eropa yang bebas, merdeka dan ceria. Merasa nyaman saat menjalani operasi maupun perawatannya karena dokter-dokter dan perawat di Eropa bersikap begitu lembut. Ia pun melihat perempuan-perempuan Eropa dapat melakukan apa saja sesuai keinginan mereka. Souad merasa takjub dengan paras cantik perempuan-perempuan di Eropa, pada wajah mereka, rambut mereka, kaki mulus mereka, sepatu mereka yang bagus dan berupa-rupa, dan pada pakaian mereka yang indah. Kemduian Mereka pindah ke Prancis. Karena usianya masih diaktegorikan anak-anak, maka Souad dan putranya, diadopsi oleh sepasang suami istri yang baik yang didanai oleh Terre des Hommes. Souad mulai membaik dan ia merasa senang berada di Eropa sebagai kehidupan keduanya, bahwa ia belum mati, telah diselamatkan, dan bahwa putranya yang tampan juga ada bersamanya. Souad belajar bahasa Prancis dan belajar Al-Qur'an dan memiliki keinginan untuk bekerja agar ia punya uang sendiri.

Souad bertemu dengan Antonio dan mereka hidup bersama selama tujuh tahun, setelah Antonio mapan kemudian mereka menikah dan membeli sebuah rumah kecil. Souad kemudian melahirkan putrinya, Laetitia, kemudian beberap tahun kemudian melahirkan Nadia. Meski telah memiliki keluarga yang bahagia, dengan suami yang setia, baik hati dan lembut juga dua orang putri yang cantik-cantik, Souad masih belum bisa melupakan masa lalunya, terutama saat dia melihat luka-luka bakar di sekujur tubuhnya
dan teringat akan Mawran yang berada dalam asuhan orang tua angkatnya. ketakutannya juga berdampak pada kehidupan rumah tangganya, seperti seluruh peralatan rumah tangga seperti kompor, menggunakan kompor listrik, dan tak ada yang boleh menyalakan api di rumah itu.

Souad juga mulai belajar menulis dengan menggunakan pensil, lalu mulai membaca, yang diawalinya dengan membaca pengumuman di surat kabar, berita perkawinan dan iklan mobil bekas. Souad sudah mulai memahami berita yang dibacanya dri surat kabar pada setiap pagi sebelum berangkat kerja. ia juga sudah mulai memahami geografis Eropa, tentang kota-kota besar dan kota-kota kecilnya. Di Italia, Souad sudah mengunjungi Roma, Venesia dan Portofino. Ia juga sudah mengunjungi Barcelona di Spayol bersama orangtua angkatnya saat liburan musim panas. Souad juga menonton laporan serta perkiraan cuaca internasional di televisi dan berusaha mengingat tempat-tempat seperti Madrid, Paris, London, Beirut dan Tel Aviv.

Lima belas tahun kemudian, tahun 1985, Jaqueline meminta bantuan Souad untuk memberikan kesaksian atas nama Sugir Association. Dan Souad menerangkan segalanya seolah -oleh telah kembali ke negerinya dan mengalami kembali deritanya. "Salah seorang peserta pertemuan itu berdiri dan mengajukan pertanyaan...Souad, wajah anda cantik, dimanakah bekas-bekas luka bakar itu? ...aku pun berdiri, dan didepan semua orang yang hadir aku membuka kemejaku. ....aku menunjukkan kedua lenganku dan punggungku. Lalu wanita itu pun mulai menangis. Beberapa laki-laki yang hadir disana kelihatan risih. Mereka merasa kaishan padaku. Ketika aku menunjukan diriku didepan publik, aku merasa seperti orang sinting yang memberikan pertunjukan tambahan. Tetapi dalam situasi seperti itu aku tidak merasa terganggu, karena aku tengah memberikan kesaksian dan aku harus membuat orang-orang mengerti bahwa aku merupakan seorang yang beruntung selamat". Dia merasa berutang nyawa pada Jaqueline yang telah menolongnya dan pekerjaan Jaqueline membutuhkan saksi hidup untuk menunjukkan pada orang lain tentang realitas kejahatan atas nama kehormatan. Karena kebanyakan orang tak tahu bahwa hal tersebut benar-benar terjadi. Itu karena disebabkan sangat sedikit perempuan korban yang selamat, dan karena mereka tidak tampil di depan publik, demi keselamatan mereka.

Dalam kesaksiannya Souad menerangkan, "...disana seorang perempuan tidak punya kehidupan. gadis-gadis banyak yang dipukuli, dianiaya, dicekik, dibakar dan dibunuh. Ibu saya sendiri bahkan ingin meracuni saya untuk menyelesaikan tugas kakak ipar saya. Seperti itlah kehidupan yang normal bagi perempuan disana. ...sapi dan kambing seperti yang pernah dikatakan ayah saya, lebih berharga daripada perempuan. Jika anda tidak ingin mati, sebaiknya ada diam saja, patuh, menghambakan diri, tetaplah perawan sampai anda dikawinkan dan lahirkanlah anak laki-laki", dan ia melanjutkan, "Seandainya saya tidak berhubungan dengan seorang laki-laki, kehidupan seperti itulah yang harus aya jalani. Anak-anak saya akan seperti saya, cucu-cucu saya akan seperti anak-anak saya. Jika saya hidup disana, saya juga akan normal, seperti ibu saya yang mencekik anak-anaknya sendiri. saya pun mungkin akan membunuh anak perempuan saya sendiri. Saya mungkin sudah membiarkan seseorang mati terbakar. .....sampai saya ada di Eropa dan melihat anak-anak gadis dihargai sama seperti anak-anak laki-laki"

Nadia berumur delapan tahun dan Laelitia berumur sepuluh tahun saat Souad pertama kalinya diundang untuk berpartisipasi dalam sebuah siaran radio. Anak-anak perempuannya itu lebih banyak tahu kisah hidup Souad melalui wawancana di radio itu. "Setelah mendengarkan siaran, Laelitia bereaksi keras...Berpakaianlah sekarang, Mama dan berkemaslah. Kita akan naik pesawat dan pergi ke desa Mama itu. Kita akan membakar mereka. Kita akan menyalakan korek api dan membakar mereka seperti yang mereka lakukan pada Mama...dan Laelitia pun dirawat oleh psikiater selama enam bulan sehingga ia tak mengatakan lagi ingin pergi kesana....dan aku memahami bahwa kisahku akan membebani mereka hingga masa depan." Lalu dalam kesaksiannya lagi, " Aku telah bertemu gadis-gadis lain yang datang dari negeri jauh, seperti aku beberapa tahun lalu. Mereka semua sedang dalam persembunyian. salah seorang dari mereka tidak mempunyai kaki: dia diserang oleh dua orang aki-laki tetangganya yang kemudian mengikat dan meletakannya diatas rel kereta api. Seorang gadis lain hendak dibunuh oleh ayah dan saudara laki-lakinya sendiri dengan menikamnya dan melemparkan tubuhnya kedalam sebuah tong sampah. Ada juga seorang gadis yang dilemparkan keluar jendela oleh ibu dan dua saudara laki-lakinya: dia kini cacat. Ada banyak perempuan-perempuan lain yang tak sempat kuketahui, juga mereka yang ditemukan sudah meninggal. Ada mereka yang berhasil melarikan diri, tetapi kemudian tertangkap di negeri lain dan dibunuh. Ada juga mereka yang berhasil melarikan diri, dan bersembunyi, dengan atau tanpa anak, masih gadis atau sudah menjadi ibu. Aku belum pernah bertemu perempuan lain sepertiku. Mereka yang dibakar tidak ada yang selamat. Dan aku maish bersembunyi. Aku tak bisa menggunakan namaku sendiri, menunjukkan wajahku. Aku hanya bisa berbicara. Itu satu-satunya senjata yang kumiliki" Ungkapnya.

Setelah menolong Souad, Jaqueline masih bekerja seperti biasanya, menyelamatkan para perempuan dari kematian. Yayasannya bekerja di seluruh dunia dimanapun mereka diperlukan. Di Afganistan, Maroko, Chad, Yordania. Namun dunia masih saja lamban mengatasi berbagai kekejaman yang ditimpakan kepada kaum perempuan di belahan dunia tertentu. Lebih dari enam ribu tindak kejahatan atas nama kehormatan terjadi setiap tahunnya. Dan dibeberapa negara, kaum perempuan dipenjarakan karena melakukan protes, yang diduga dalam rangka menyelamatkan hidup mereka. Sebagain mereka ada yang sudah dipenjara selama lima belas tahun, yang harapannya akan dikeluarkan oleh ayah atau saudara laki-laki mereka yang juga sangat ingin membunuh mereka. Ada dua perempuan yang dibebaskan dan kemudian dibunuh.

Sedikit-demi sedikit otoritas-otoritas yang berwenang di negara masing-masing mengakui berbagai tindakan itu sebagai perbuatan kriminal. Laporan mengenai Komisi hak Asasi Manusia di Pakistan pun diterbitkan. Di Timur Tengah undang-undang kesehatan publik menyediakan informasi tentang jumlah kasus yang diketahui. Dimanapun, pemerintah terus mendata jumlah gadis-gadis dan perempuan yang dibunuh, di Timur Tengah ataupun di Turki, adat istiadat terus berlanjut secara membabi buta, dan harus diakhiri. dalam beberapa tahun belakangan, beberapa penguasa seperti Raja Hussein di Yordania dan Almarhum raja Hasan di Maroko sudah menyatakan diri secara terbuka tentang tindakah kejahatan atas nama kehormatan. Para Imam dan Pendeta Kristen secara terus menerus menjelaskan bahwa kehatan atas nama kehormatan seperti itu merupakan hal asing di dalam Al-Quran dan Al-Kitab.

Souad dan keluarga barunya, suaminya dan kedua putrinya begitu baik padanya dan mendukungnya untuk terus lepas dari bayang-bayang masa lalunya. Dan mereka pun membawa Marwan untuk tinggal bersama mereka sehingga Laelitia dan Nadia punya kakak laki-laki yang akan melindungi mereka. " Aku menceritakan kisah kehidupanku untuk pertama kalinya dengan memaksa memoriku mengeluarkan segenap pengalamanku, meskipun itu terkubur amat dalam. Tugas ini lebih menantang ketimbang memberi kesaksian didepan publik, dan lebih menyakitkan ketimbang menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan anak-anakku. Aku berharap, buku ini akan berkeliling dunia, bahwa dia akan mencapai Tepi Barat dan bahwa kaum lelaki disana tidak akan membakarnya."

Begitulah kisah Souad yang memberiku inspirasi untuk menjadi perempuan yang kuat. Memperjuangkan apa yang menjadi hakku sebagai perempuan, mahkluk yang sejajar dengan temannya, laki-laki. Selengkapnya tentang kisah ini baca di: Souad, 2006. Burned Alive: Kisah nyata yang mengguncangkan tentang seorang perempuan yang lolos dari pembunuhan atas nama kehormatan. Pustaka Alvabet. Jakarta.

Meskipun Adam adalah yang disebutkan pertama kali kemudian nama istrinya, Hawa, namun tanpanya manusia tak akan berketurunan. So, lelaki dan perempuan atau perempuan dan lelaki, hiduplah sebagaimana digariskan: sejajar

Jumat, 30 Juli 2010

Sahabat kecil : Tury

Aku ingat pada seorang teman. Kami berteman sejak SMP. Sebut saja namanya Tury -nama panggilan yang ia suka-. Tury adalah gadis tomboy yang imut, ceria dan cerdas. Sejak SMP hingga SMU kami sering berbagi banyak hal. Kami berburu Wiro Sableng dan Petruk ke pasar Sabtu dengan berpura-pura mau ke Puskesmas. Kami sama-sama menggemari Conan dan komik-komik tentang balerina. Kami sering membawa makanan ke kelas dan memakannya sambil mendengarkan guru menerangkan pelajaran (sangat tidak sopan sih). Kami sering menonton film bersama dan tertawa-tawa atau menangis bersama. Kami sering terbengong-bengong saat menyaksikan teman-teman kami yang sedang asyik bermain basket dari anak-anak tangga di depan kelas kami. Kami sering pulang ke rumahnya saat istirahat dan menghabiskan makanan yang dibuat kakak iparnya. Kami bercerita tentang mimpi-mimpi yang kami alami dalam tidur kami. Kami juga sering bercerita tentang impian-impian kami di masa depan.

Tury suka Fisika, Aku suka Antropologi. Tury suka Matematika, aku suka Sosiologi. Tury suka Biologi, aku suka Sejarah. Tury masuk PMR, Aku masuk Pramuka. Tury gandrung basket, Aku gandrung kemah. Tury bebas berteman, Aku dibatasi. Tury suka keluyuran ke luar kelas, Aku suka ngerumpi di dalam kelas. Tury ke Jawa, Aku di Lampung. Ah, cara Allah menunjukkan takdir memang aneh tapi logis.

Aku kangen pada Tury. Sungguh-sungguh kangen. Aku ingat, pada bulan Mei 2002, saat kami duduk dikelas 2 SMU, saat dia sangat dekat denganku dan aku sangat dekat dengannya, sebagai sahabat yang saling memberi dan berbagi, Tury memberiku sepucuk surat di hari ulang tahunku. Tury ingin menyenangkan hatiku dan ia ingin aku tahu posisiku dimatanya. Begini isinya:

Assalammu’alaikum,
My best Ika,
Alhamdulillah, itu kata yang pengen Tury ucapin saat ini, walau tergenang kesedihan membanjiri hati kita, tapi nikmat Allah itu
ada di mana-mana. Ika, walau Tury belum mampu dan belum
bisa bersyukur, Tury akan coba.
Telah datang kini, hari untuk kita mengingat segala yang pernah
terjadi. Yang semoga Allah menjadikannya sebuah ibroh,
karomah yang akan datang kepadamu.
Insya Allah, Ka, persahabatan kita akan lebih memudahkan jalan
yang saat ini sedang kita tempuh. Kita tapaki satu demi satu.
Maafkan Tury yang nggak bisa memberikan yang terbaik,
tapi do’a kadang lebih mujarab. Lebih memberi nuansa cinta
dalam ikatan ukhuwah. Semoga Allah melindungi kita semua
dan memasukan kita kedalam golongan hamba-hambaNya
yang sholeh. Amiin ya rabb.

Good luck to try, to be someone
In your life
Allah, please help my friend
To be your love

Wassalammualaikum.

Tury adalah gadis cerdas, lincah dan pemimpi. Aku sama sekali tak pernah bisa menandinginya. Rangkingku selalu saja ada dibawahnya, kecuali saat kami duduk di kelas 3 SMU. Tury masuk IPA dan Aku IPS. Dalam membuat impian-impian, Tury adalah jagonya. Ia punya banyak mimpi termasuk bertemu dengan group Backstreet Boys dan West Life yang sudah digandrunginya sejak SMP. Ia ingin ke Jepang dan Amerika. Ia ingin menjadi ahli dibidang IT dan kuliah S2 di luar negeri. Hanya saja tekad Tury mungkin tak sekuat tekadku. Kegilaan Tury pada usaha untuk menggapai impian-impian kecil kami tak segila Aku. Dan Tury tak seberuntung aku dalam hal ini.

Selepas SMU Tury tak bisa melanjutkan pendidikannya ke Universitas dan memilih bekerja di sebuah pabrik di Pulau Jawa bersama rekan-rekan kami yang lain. Kupikir, faktor ekonomi bukan satu-satunya alasan bagi mereka untuk hengkang dari dunia mimpi yang pernah kami bangun. Toh keadaan keluargaku tak jauh lebih baik dari mereka semua. Sejak saat itu aku kehilangan Tury yang bersemangat dan kami kehilangan kontak. Bahkan saat liburan Hari Raya Idul Fitri, Tury hampir tak pernah datang ke acara reuni teman-teman SMP dan SMU karena harus segera kembali ke tempatnya bekerja.

Aku kangen pada Tury karena hampir enam tahun lamanya kami tak bertemu. Aku berusaha mencari nomor yang bisa kukontak kesana-kemari. Pada liburan Idul Fitri 2009 aku mendapat kabar bahwa Tury telah menikah dengan seorang lelaki Betawi rekan kerjanya dan telah memiliki seorang putra. Ada sesuatu yang membuatku menangis, menangis untuk Tury. Inilah perempuan, secemerlang apapun otaknya dan setinggi apapun mimpinya, mereka tak bisa melawan sistem sosial yang membuat mereka terkondisikan untuk terus-terusan kalah. Kecuali jika mereka berani melawan. Tak ada lagi Bupati atau Gubernur yang mau membiayai pendidikan anak-anak bangsa yang cerdas, menjadikan mereka dian yang terang bagi bangsanya. Akhirnya kecerdasan mereka ibarat mimpi yang terhapus saat mereka bangun dari tidur dan berhadapan dengan kenyataan yang tak mampu mereka bantah.

Tidak hanya Tury sebagai perempuan yang kehilangan kesempatan untuk meraih mimpi-mimpi karena mahalnya biaya ekonomi dan sosial untuk menjadi seorang mahasiswa. Ada banyak kisah serupa yang kusaksikan begitu miris, bahkan jika mereka anak lelaki sekalipun. Setidaknya aku telah melihat ada tiga orang jenius, yang kukenal dekat sebagai rekan semasa sekolah, yang terkapar dalam dunia remah-remah, yang melanjutkan hidupnya sebagaimana kehidupan orangtuanya yang tak cicipi bangku sekolah.
Mimpiku : Impian Tury akan diwujudkan melalui impian putra-putrinya

Kamis, 29 Juli 2010

HAM (1) : Kenangan Buyat

Masih ingat peristiwa pencemaran Teluk Buyat - Sulawesi oleh akibat limbah tailing dari tambang emas PT. Newmont Minahasa Raya yang berlangsung sejak 1997 yang kemudian dinyatakan tak pernah ada oleh pemeirntah pusat? Gugatan Legal Standing WALHI mewakili masyarakat kalah di pengadilan. Tak lama, sebagian besar masyarakat Buyat yang selama ini bermukim di Pante Lakbah (68 keluarga) melakukan eksodus ke Desa Duminanga, Boolang Mongodow, yang berlangsung tahun tanggal 25-26 Juni 2005. Kisah paling kelam dari kehancuran ini adalah ANDINI. Andini adalah bayi yang lahir dalam keadaan seluruh tubuhnya dipenuhi luka (mirip daging bakar yang penuh bumbu) akibat terpapar merkuri dari tubuh ibunya, sebagaimana ibu-ibu lainnya. Andini meninggal dunia. Andini yang tak berdosa bahkan tak mampu menjadi saksi kuat atas kejahatan lingkungan yang dilegitimasi penguasa. Peristiwa ini tak jauh berbeda dengan kasus Minamata-Jepang atau pertambangan di China. Namun, ini nampak tak masuk akan untuk negeri surga bernama Indonesia. Laut, tanah, pohon, cacing hingga manusia perlahan-lahan hancur seperti dedaunan yang dimamah ulat atau bahkan lebih buruk dari itu. Bencana akibat kejahatan lingkungan bahkan lebih parah dari yang mungkin bisa kita bayangkan, setidaknya dalam persepsiku, sebab akan berlangsung sangat lama, lintas generasi dan lintas zaman.

Kasus ini telah sepi. Tak pernah lagi menjadi pembicaraan publik. Namun, ada pihak-pihak yang tak ingin semua ini dilupakan begitu saja. Kasus ini harus menjadi dongeng sebelum tidur anak-anak Indonesia, agar dimasa depan mereka tidak menjelma sebagai ayah atau ibu yang sanggup meracuni sumber-sumber kehidupan. Denny S.E Taroreh ’Dentar’ mengabadikan kisah tragis ini melalui seni fotografi yang menyayat hati. Kesedihan ini ditambahi pula oleh saja-sajak Jamal Rahman ’warga republik jalanan’, yang mengatakan bahwa surga tak hanya di akhirat.

Sayang sekali, aku tak dapat menghadirkan foto-fotonya. Tak apalah, untuk sementara sajak-sajak Jamal Rahman yang akan kubagi. Hanya ini yang bisa kuberikan untuk korban kejahatan lingkungan ini. Bahwa hatiku sama sedihnya. Untuk para Mama, para Ayah, Anak-anak, burung-burung, ikan-ikan, batu-batu, air, pasir, cacing... semua yang diciptakanNya.

Sepenggal kisah anak Buyat
‘Eksodud ke Tanah Harapan’
-sungguh ini bukan kisah Tanah Perjanjian yang tertulis dalam Kitab-Kitab Tua-

Once upon time in Buyat......
1.
tunggu sejenak Mama!
lihat bekas kaki kami waktu bermain tali tanah
juga ambilkan boneka itu
biar dia bersamaku melupakan jejak
yang sebentar lagi disapu gerimis

2.
jangan adikku!
jangan hapus jejak itu
biar aku yang menjaganya untukmu
biar ibu membendung sungai dimatamu
biara ayah membawa kita
pada jejak baru

3.
maafkan aku mama
aku tahu
sakitku
adalah teror
untukmu

4.
bahwa kemarin aku
senang ikut ayah melaut
karena yakin
kami bisa selalu kembali

bahwa kini aku meratapi
puing-puing ini
bukan sedih, namun sepi membayangi
bahwa besok, aku mungkin mmeilih disini
walau tahu itu tak pasti

5.
mungkin masa lalu dan harapan
selalu bersahabata dengan angin
tetangganya gumpalan awan

tapi mataku
hanya ingin
menyusuri tanah
kepala tak sanggup
mendongan ke atas

6.
masa lalu dan harapan itu
begitu jauh terseret angin
padahal mungkin esok
aku ingin tidur di awan
atau bermain tali tanah
di atas hamparan pelangi

7.
kepulan asap terus meninggi
tinggalkan nyala api
membakar tumpukan
kenangan ini

8.
aroma karbon
menyesakkan rongga dada
di sini harusnya
goropa atau babora yang
dipanggang
sebelum lezatnya terusik
berbagai jenis racun
kami selalu bernyanyi

9.
biru itu
entah kaku
entah menunggu
bukan memburu
tapi waktu
selalalu baru
akan terharu

10.
tepat diujung isakmu itu
mama, aku menangkap
degup kesedihan
kusangka itu pengesalan

11.
aku keliru mama......
tepat di muara airmatamu
aku melihat duka yang membatu
memang dingin dan lembab
tapi aku yakin
disana ikhlasmu bersemayam

12.
tuhan, ada apa ini?
aku tak mengerti
aku tak pernah memilih
memang takdirku
ada disini

akulah Andini
yang kau pilih
kulihat mereka bicara
tanpa kata hanya do’a
(prosesi pemakaman Andini)

13.
tuhan, duka itu
hiruk-pikuk ini
kapan berakhir
tolong redakan
tangis mereka
jangan padamkan
lenteraku

14.
tak ada yang lebih berharga
dari jiwa merdeka
jiwa yang menampik segala iming-iming
jiwa yang menantang segala ancaman
jiwa yang berani menatap mata kuasa
benar, semua harap
selalu hilang di biru cakrawala
tapi cita-cita kita
bukan ditangan siapa-siapa...

15.
kalian tak lagi peduli
kisah ini membuncah
dalam berita atau cerita
kali ini kita seperti
baru saja kalah perang
tapi tak menyerah jadi
tawanan
meski dunia terbahak
kalah menang hanya
perumpamaan
semua sebentar lagi
mengingkarinya

16.
Bukan sekedar
Hanya sepenggal kulit bumi
Kemarin ditinggali
Kini ditinggalkan
Namun jiwa kami disemangati
sekian lambaian

ada gemuruh yang tak terbendung
seperti jutaan buih yang
sebentar dilintasi
kemudian tiba di daratan
asing
sungguh ini bukan kisah yang
tertulis dalam kitab-kitab tua

Duminanga....Land of Hope....
17.
kami telah tiba
dengan memendam luka itu
disini, keringat
segera menetesi tanah
yang sejak kemarin
telah dibasahi air muka
wajah pribumi
selamat datang
di dunia beban!

18.
aku tak lagi bertanya
apakah ayah membawa kail
aku yakin di sini ada lahan
yang siap ditanami
dan bunda jangan ragu
di sini langit lebih biru
meski laut mengharu
bukankah duka itu
telah kita kubur?
memang liangnya,
di tanah seribu kisah

19.
di titik ini
kita belum jauh
tinggalkan kegalauan
seperti camar yang
selalu berkelompok
mari bersama tapaki cadas

20.
aku yakin
langit takkan menelan
kupu-kupu yang kemarin
mengajak kita bergurau

21.
kini hujan itu
benar-benar datang dimatamu
setelah yang kumiliki
hancur terlindas
terik sinar mata kuasa
terinjak kaki robot
bernama modal

betul katamu kawan
hujan tak selalu air
tapi sempat membuatmu basah
sungguh nanti kau akan
rindu pada awan
kawan, haruskah kita
melawan awan

22.
ujung malam akhirnya
memelukmu
dalam kematian
sementara
dan aku bukan sekedar
melayat
andini,
kata-kata juga
mengejarku
seperti
memburu awan yang mencair
diluar jendela
senja ini bawakan aku
hadiah
sebuah siang terbungkuas
kain hijau kusam
yang semenjak kemarin
hanya kau titip pada
langit malam

23.
(membangun bedeng triplek)
Jika sekat-sekat itu sebuah bingkai
Dari asa yang kita punya
Bagiku, bilik ini
Sekalipun semegah istana
Jangan sampai memenjara cinta

24.
padamu ibu aku berjanji
akan tetap mendengar rintih
dari nafasmu
dari desahmu
dari sisa teriakan
yang belum cukup didengar
dalam rangkulanmusemua jelas bagiku
kita masih akan lama
berputar-putar
dalam janji yang entah
berkah atau dusta

Catatan Perempuan Pemimpi (5) : tentang kebahagiaan

p30 Juni 2008

Hatiku berbisik lembut,
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…

Catatan Perempuan Pemimpi (4) : lebih dekat lagi ke puncak Gunung Pesawaran

1 April 2008
Berlian malam
Langit bercahaya. Bintang ditaburkan serentak. Menjadi padang berlian yang tersebar dalam gelap. Terjunjung diatas puncak Pesawaran mountain yang berkabut. Menemani zikir sunyi yang hanya terasa megah dihati. Taman Hutan Raya Wan Abdul Racman yang luas ini gelap. Seperti diselimuti jubah malaikat maut yang sedang menunggu perintah untuk mencabut nyawa sesosok makhluk. Tersudut dalam palung yang remang. Menembus katup mata yang tersendat memuji kebesaran-Nya. Ingin kuhitung semuanya, tapi melongok dari jendela saja rasanya tamparan salju menghabisi seluruh energi tubuhku (kalau di Eropa salju itu putih, disini saljunya transaparan: bingung. Xixixixixi...). Semua orang terpasung dingin. Lalu memilih diam meringkuk dibawah selimut lusuh. Tak ada yang bangun dan berkecipak dengan pancuran yang mengalir tenang. Atau bermain-main dengan Tuhan yang sedang bertandang ke bumi. Entah kemana mimpi membawa jiwa-jiwa itu terbang.
Jauh di teluk yang menghimpit pantai, cahaya keemasan berbaris seperti pasukan malaikat yang menjaga tangga menuju istana emas. Seperti bintang yang ditaburkan pada pemakaman agung. Berkerlip dalam hitamnya samudera. Menelisik bilik hati. Aku melihat sebuah kemegahan yang tersungging dari bibir malam yang segera terjaga. Seolah, istana Sulaiman putra Daud sejenak berpindah, berlabuh dari perjalanan menuju surga.

Tempat ini tinggi. Begitu tinggi. Seolah, dengan sampai dipuncaknya bumi yang terhampar telah tergenggam. Sepasang mata indah pemberianNya menguasai seluruh padang hijau. Menjadi hamparan permadani di istana dunia yang maya. Saat mendongak ke langit, seolah pintu Arasy terbuka lebar. Menyambut dengan cahaya dan taburan bunga-bunga surga. Pondasinya yang kokoh menopang langit pancarkan segala kejadian dan perlihatkan betapa setiap perbuatan ada balasan. Seolah cermin yang tak henti bercerita tentang segala yang tercatat dan dilihatnya sepanjang waktu. Riuh dalam bimbang yang memenuhi hatiku. Menjalin helai resah dan basah menjadi sebongkah lelah. Memandang ke teluk yang jauh, kulihat rinai putih penuhi bumi. Memeluk setiap yang terjaga. Menjalin ingatan yang masih tertawa. Perlahan muram dalam sasmita yang menyapa.
Saat waktu begitu dekat dengan keabadian dan ruh yang tidur seakan enggan pulang, mengapa tak ada yang datang padaNya? Tak satupun tengadahkan wajah sendu ke langit tuk ucapkan segala pinta. Apakah neraka menjadi tanpa api? Dia kini dingin dan tak pernah bara. Bahkan lidahnya telah dilumat setan tuk selamatkan pengikutnya? Mengapa saat raja dunia yang dipuja meninggalkan mereka dalam keterpurukan dan kesengsaraan panjang, tak jua mereka berpaling pada Raja segala Raja? Lalu dimanakah logika saat makan harus 3 kali sehari ditambakah bergelas-gelas kopi dan berpiring-piring kue, tetapi dalam 5 kali penyembahan itu mereka hanya datang sekali saja?.

Ah, kuhakimi diriku. Kucambuk perih jiwaku agar tak larut dalam dekapan malam yang menggigit. Apa bedanya diriku dengan mereka? Kupaksa dingin itu menjauh. Kunyalakan perapian dalam relung jiwaku yang sunyi. Cericit burung malam menertawaiku. Mengunyah resahku menjadi mimpi yang tak berujung. Bangun....bangun....bangun....basuhlah wajahmu dalam pancuran itu datang padaNya....datanglah bersama dingin kulit dan hatimu, datanglah.... datanglah.... ”Dan Tuhanmu berfirman, ’berdoalahn kepadaKu, niscaya akan Kuperkenankan doamu...,” (QS.Al-Mu’min:60). Hingga akhirnya pagi datang dalam suasana yang tak pernah berbeda. Basah dan lelah. Dingin dan berkabut. Putih dan diam. Tak ada matahari. Tuhan hanya untuk dipercaya, kukira begitulah pandangan mereka sebab tak ada cahaya dan bekas sujud dikeningnya (Ah, tidak. Semoga ini hanya sangkaanku saja).

Duhai Allah
(Unknown)

Duhai Allah...
Duhai Allah...
Pemilik segala alam raya
KepadaMu bermuara doa
KepadaMu bermuara cinta

Duhai Allah...
Duhai Allah...
Hanya kepadaMu daku mengadu
Ku berdoa hanya padaMu
Ya Allah jangan tinggalkan daku

Duhai Allah yang kuasa
CahayaMu mulia alangkah indahnya
Terangi hati yang lama resah
Tentramkan jiwa yang gelisah
Terangi hati yang lama resah
Tentramkan jiwa yang gelisah

Duhai Allah...
Duhai Allah...
Rinduku biru hanyalah milikMu
Dekatkanlah daku denganMu
Ya Allah jangan tinggalkan daku

Duhai Allah yang kuasa
CintaMu mulia alangkah indahnya
Sirami hati yang lelah resah
Teduhi jiwa yang gelisah
Sirami hati yang lelah resah
Teduhi jiwa yang gelisah