Senin, 09 Agustus 2010

Story: Janji Khadijah (2)

2
To: perempuanpemimpi@yahoo.com
From: pangeranpemimpi@yahoo.com
Date: 05/01/2010
Subject: Impian Nenek Khadijah

Kegembiraan tahun baru masih terasa di jalan-jalan. Rasanya telingaku masih mendengar riuh rendah gadis-gadis remaja yang bergembira saat langit dipenuhi kembang api. Tahun ini nampaknya akan diawali oleh kegembiraan meski disebagian tempat masih banyak diwarnai konflik, bencana, fenomena sosial seperti kemiskinan dan kisah bunuh diri. Aku berharap kotamu akan menjadi tempat yang nyaman bagi warganya dalam menjalani hari-hari hingga awal tahun berikutnya.

Aku berterima kasih kau mau berbagi denganku. Pertemuan kita di Bali waktu itu mungkin memang ditakdirkan untuk bermuara pada kisah ini. Aku menghormatimu. Kau perempuan yang tak saja cerdas, baik hati tapi juga supel. Pasca Bom Bali, orang-orang pasti akan menaruh curiga pada perempuan sepertimu. Ya maklum lah. Apalagi waktu itu kau melenggang kangkung di Pantai Kuta yang sedang dipenuhi turis asing. Pantai Kuta adalah tempat bagi orang-orang setengah telanjang, dan bukan perempuan berjilbab sepertimu. Aku geli pada ketidakpedulianmu waktu itu. Dasar perempuan keras kepala. Tapi benar juga, estetika berwisata membuat kemanusiaan kita terkungkung oleh style. Cara manusia menikmati alam menjadi terkotak-kotak. Andrea Hirata pernah menulis mengenai pengkotakan seperti itu dalam akses ekonomi di Belitong. Benar, memangnya kenapa kalau ke pantai tak menggunakan pakaian yang (dianggap) tepat yaitu bikini atau kolor saja? Memangnya pantai ini punyamu? Ah, kamu aneh sekali waktu itu.

Oh ya, aku juga terinspirasi oleh beberapa tulisanmu di facebook. Kau ini memang suka ngelantur kalau menulis. Ya, maaf, aku membacanya kalau lagi ngelantur juga. Supaya nyambung, he...he.... Atau memang itu gayamu hingga tak ada penerbit yang mau menerbitkan naskah novel yang katanya kau kirim itu. Sudah berapa naskah yang kau kirimkan? Kasihan sekali. Mungkin sebaiknya kau jadi PNS di Bappenas atau Depkeu saja daripada jadi penulis. Kuberi tahu satu hal padamu, setelah membacanya, aku berkhayal bahwa selain cantik, Khadijah memiliki pesona yang mengagumkan.

Hm, ngomong-ngomong siapa yang memberimu kado itu? Sepertinya dia seseorang yang spesial. Aku jadi cemburu (just kidding, ha...ha...). Aku menebak: saat menerimanya kau terpana sekaligus terkejut, kau mungkin bertanya siapa pengirimnya tapi temanmu tak tahu siapa pengirimnya, lantas kau tak peduli pada siap pengirimnya, lalu kau tersenyum senang dan menciumi mawar itu sampai tertidur. Benar kan? Oh ya, apa yang diceritakan buku itu tentang Ummul Mukminin Khadijah ra? Mengapa semua menjadi bernama Khadijah ya?

***
AYAH KHADIJAH MEMANG BAJINGAN. Lelaki tak tahu adat itu meninggalkan Khadijah, Ibunya yang tengah hamil lima bulan dan seorang adik Khadijah yang masih kecil. Entah setan dari pegunungan mana yang merasuki pikiran lelaki itu sehingga sampai hati meninggalkan keluarga kecilnya tanpa sepeserpun uang. Lelaki itu membawa semua uang miliknya. Lelaki itu pergi entah kemana. Lelaki itu tak pernah kembali hingga Khadijah telah menyelesaikan pendidikannya di bangku Universitas. Lelaki itu hilang ditelan bumi. Khadijah tak peduli lagi.

Sebagian besar keluarga membiarkan saja masalah yang menimpa ibu Khadijah. Mereka menuding bahwa itu adalah karma yang memang harus diterima karena, Nina, Ibu Khadijah, telah berani menikah dengan lelaki yang berbeda agama. Ya, dalam Islam itu Zina. Zina adalah dosa besar dan kehinaan yang sungguh tak bisa ditebus. Khadijah pun dijauhi anggota keluarga karena dianggap sebagai anak dari hasil perzinahan. Khadijah masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) ketika itu. Dia hanya bisa menangis saat sepupu-sepupunya mengejeknya sebagai anak jadah. Haram. Anak yang membawa kesialan pada keluarga dan masyarakat.

Ditengah keterpurukan itu, Nina yang tak lama lagi akan segera melahirkan anak ketiganya, lari kerumah ibunya yang dulu ditinggalkannya demi cinta buta. Nina bersujud di kaki ibunya memohon perlindungan perempuan tua itu untuk kedua putrinya yang maish kecil dan anak yang akan segera dilahirkannya. Nina berjanji bersedia melakukan apapun yang dihendaki ibunya asalkan ada tempat bernaung dan tumbuh bagi Khadijah dan adik-adiknya. Perempuan tua itu adalah seorang ibu. Hati seorang ibu seluas samudera yang mampu menampung segala. Dia menerima kembali putrinya yang durhaka dan menciumi kedua cucunya yang masih kecil.

Perempuan tua itu sehari-hari berdagang sayuran segar di pasar. Menjual sayur –mayur cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya sambil menunggu waktu panen kopi tiba. Kebun kopi peninggalan suaminya yang hanya 1 hektare dirawat dengan sistem paroan oleh seorang tetangga. Setiap musim panen tiba, ia memperoleh uang cukup untuk memenuhi kebutuhannya dan menabung. Saat putrinya datang dengan kedua cucu kecilnya, ia merasa penciumannya dipenuhi aroma kembang kopi segar yang akan berbuah lebat untuk musim selanjutnya.

Perempuan tua yang segera dipanggil nenek oleh Khadijah dan adiknya, Aisyah, merasa sangat senang. Neneknya berencana memasukkan Khadijah ke sebuah pesantren apabila ia telah lulus SD. Neneknya ingin Khadijah mempeorleh pelajaran tentang akhlakul karimah sehingga tak meniru perilaku ibunya jika sudah dewasa. Neneknya melihat Khadijah cukup rajin beribadah dan sangat tekun dalam belajar. Ia telah mempelajari beberapa karakteristik pondok pesantren yang ada di kecamatan. Ada sebuah Ponpes besar yang sudah puluhan tahun berdiri dan menghasilkan lulusan yang baik. Neneknya ingin Khadijah memiliki masa depan yang baik, seperti menjadi santriwati teladan sehingga dapat menikah dengan keluarga Ustadz.

Saat Khadijah duduk di kelas 6 SD, Neneknya menyampaikan niat baik itu dan Khadijah merasa senang meskipun ia sangat ingin melanjutkan sekolah ke sekolah umum sebagaimana pilihan para sepupu dan teman-temannya. Khadijah berpikir mungkin neneknya tidak punya uang untuk membiayainya jika ia masuk sekolah umum. Khadijah memendam perasaan itu hingga sering mengigau saat tidur. Ia ingin masuk sekolah negeri. Semua igauan itu didengar ibunya dan ibunya tak kuasa menahan kesedihan karena nasib suram yang mungkin dialami putrinya.

Maka Nina memutuskan untuk menjadi TKW. Ia berangkat ke Taiwan untuk menjadi PRT. Dia tak peduli pada nasibnya sendiri. Nina hanya peduli pada Khadijah dan kedua putrinya yang lain. Nina tak mungkin membebankan persoalan masa depan ketiga putrinya pada ibunya yang sudah tua. Nina mengambil langkah strategis dalam menyelamatkan masa depan putrinya. Dengan menjadi PRT sekalipun, dan di negeri orang yang belum pernah dikunjunginya, ia rela. Ia akan mengirimkan sebagian gajinya setiap bulan untuk biaya hidup ketiga putrinya dan menabung sisanya untuk menyiapkan masa depan ketiga putrinya.

Sejak itu, Khadijah dan kedua adiknya hanya tinggal bersama nenek mereka. Khadijah berhasil masuk SMP terbaik di kecamatan dan boleh masuk pesantren jika ia sudah siap. Khadijah berjanji akan masuk pesantren sebagaimana keinginan neneknya. Khadijah hanya perlu waktu untuk melatih diri agar tidak kaget dengan ritme hidup pesantren yang sama sekali tidak dipahaminya. Khadijah berusaha belajar dengan rajin dan menyenangkan hati neneknya. Karena pembawaan Khadijah yang kalem dan menyenangkan, beberapa sepupunya mulai mendekat dan sering mengajaknya bermain. Beberapa paman dan bibi mulai terbuka. Khadijah merasa senang dan ia merasa bahwa Alloh swt selalu memberinya Rahmat meskipun kesedihan terus membayanginya karena ditinggalkan begitu saja oleh ayahnya.

Khadijah bukan tipe gadis yang membiarkan dirinya terus-menerus tenggelam dalam kesedihan. Kehilangan ayah dan ditinggalkan ibunya untuk bekerja di luar negeri tak membuatnya serta merta kehilangan gairah hidup. Khadijah sangat yakin bahwa ada hikmah istimewa yang sedang Alloh perlihatkan padanya. Karena itulah, setelah selesai ujian tahun pertamanya di SMP, Khadijah memutuskan untuk masuk pesantren. Hingga SMU Khadijah tinggal di pesantren. Gadis itu menjalani dua sistem pendidikan yang sama penting dan sama beratnya. Sesekali ia pulang ke rumah neneknya karena kangen dengan neneknya dan kedua adiknya.

Sebagaimana yang dijanjikan ibunya, setiap bulan Khadijah memperoleh kiriman uang dari Taiwan yang diterimanya melalui pos. Tak banyak, tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka sekeluarga. Lagipula neneknya sama sakali bukan tipe orang yang pelit. Sehingga Khadijah dan kedua adiknya tak pernah kekurangan suatu apapun. Mereka senang hidup bersama dalam kesedehanaan. Makan tiga kali sehari dengan sayur-mayur dan lauk seadanya, menghirup udara segar, membeli pakaian baru saat hari raya Idul Fitri, dan membeli peralatan skeolah baru saat kenaikan kelas. Ah, Khadijah merasa bersyukur dengan kehidupan yang dijalaninya.

Setiap bulan pula ibunya mengirimkan surat dari Taiwan. Ibunya menulis bahwa ia sudah mulai kerasan di negeri yang sangat jarang orang Islamnya. Ibunya menulis bahwa ia hanya seringkali merasa kesulitan saat harus menjalankan shalat lima waktu. Selain karena adanya perbedaan waktu, juga karena majikannya adalah seorang Protestan modern yang sama sekali tak memiliki toleransi beragama. Ibunya menulis, terkadang ia menangis saat harus menyiapkan masakan dengan menu daging babi atau makanan haram lainnya. Tapi majikannya mana mau mengerti, sebab bagi mereka semua yang diharamkan Islam tidaklah haram. Ibunya menulis kalau disana ia bekerja dengan keras.

Setiap kali menulis surat, ibunya selalu menulis sebuah kata maaf dan mengatakan bahwa Khadijah dan keluarga tak perlu mengkhawatirkannya. Ia merasa akan baik-baik saja, di ujung surat. Nina juga bercerita bahwa ia telah cukup mahir berbahasa Mandarin yang digunakan kebanyakan orang Taiwan, cukup terbiasa dengan budaya Taiwan dan musim yang berbeda-beda sepanjang tahun. Untuk menjaga imannya ia selalu menyempatkan diri berkumpul dengan sesama TKW asal Indonesia yang sering melakukan pertemuan dan pengajian yang difasilitasi oleh KBRI di Taipei. Mama baik-baik saja. Jangan khawatir, Geulis. Jaga adik-adikmu dan patuhlah pada Nenek. Ibu pasti akan pulang untuk kalian. Jangan lupa belajar yang rajin dan beribadahlah dengan ikhlas. Begitu tulis Nina, di akhir suratnya.

Khadijah tersenyum untuk segala kebaikan yang telah dikaruniakan Alloh untuknya dan orang-orang yang dicintainya. Karena itu, Khadijah semakin rajin belajar dan mengikuti setiap pelajaran di pesantren dengan baik. Sesekali hatinya menggebu-gebu ingin bertemu dengan ayahnya. Ia ingin sekali mengatakan pada ayahnya bahwa ia marah namun ia sangat menyayangi ayahnya. Khadijah memendam kerinduan itu dan berdo’a agar Alloh memberi hidayah pada ayahnya.

Dalam asuhan neneknya, Khadijah tumbuh menjadi remaja yang santun, rajin dan rendah hati. Beberapa keluarga sudah meliriknya. Khadijah adalah sosok yang tepat untuk dijadikan menantu. Namun, bila mengingat latar belakang ayah Khadijah yang Kristen dan punya perangai buruk, mereka berfikir ulang. Bisa saja Khadijah mewarisi sifat buruk ayahnya. Penilaian itu dilakukan beberapa keluarga yang memiliki anak laki-laki dan para orangtua yang merasa anak laki-laki mereka memiliki ketertarikan pada Khadijah. Masyarakat di desa itu tak mampu melupakan apa yang terjadi pada orangtua Khadijah. Mereka merasa kasihan pada gadis remaja itu. Terkadang para ibu menyesalkan nasib Khadijah yang malang. Mereka sering berbisik-bisisk, siapakah gerangan orangtua yang mau mengambil Khadijah sebagai menantu dan berbesan dengan keluarga tak beres.

Khadijah tak mendengar itu. Khadijah sedang sibuk belajar di pesantren. Khadijah sedang memenuhi impian neneknya untuk menjadi gadis yang baik dan membanggakan keluarga. Gadis yang tidak mempermalukan keluarga dengan mencederai kehormatan mereka sendiri. Di pesantren, Khadijah disukai teman-teman dan guru-gurunya karena ia gadis yang santun, baik hati, dermawan, rajin dan lembut. 

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar