Senin, 09 Agustus 2010

Story: Janji Khadijah (2)

2
To: perempuanpemimpi@yahoo.com
From: pangeranpemimpi@yahoo.com
Date: 05/01/2010
Subject: Impian Nenek Khadijah

Kegembiraan tahun baru masih terasa di jalan-jalan. Rasanya telingaku masih mendengar riuh rendah gadis-gadis remaja yang bergembira saat langit dipenuhi kembang api. Tahun ini nampaknya akan diawali oleh kegembiraan meski disebagian tempat masih banyak diwarnai konflik, bencana, fenomena sosial seperti kemiskinan dan kisah bunuh diri. Aku berharap kotamu akan menjadi tempat yang nyaman bagi warganya dalam menjalani hari-hari hingga awal tahun berikutnya.

Aku berterima kasih kau mau berbagi denganku. Pertemuan kita di Bali waktu itu mungkin memang ditakdirkan untuk bermuara pada kisah ini. Aku menghormatimu. Kau perempuan yang tak saja cerdas, baik hati tapi juga supel. Pasca Bom Bali, orang-orang pasti akan menaruh curiga pada perempuan sepertimu. Ya maklum lah. Apalagi waktu itu kau melenggang kangkung di Pantai Kuta yang sedang dipenuhi turis asing. Pantai Kuta adalah tempat bagi orang-orang setengah telanjang, dan bukan perempuan berjilbab sepertimu. Aku geli pada ketidakpedulianmu waktu itu. Dasar perempuan keras kepala. Tapi benar juga, estetika berwisata membuat kemanusiaan kita terkungkung oleh style. Cara manusia menikmati alam menjadi terkotak-kotak. Andrea Hirata pernah menulis mengenai pengkotakan seperti itu dalam akses ekonomi di Belitong. Benar, memangnya kenapa kalau ke pantai tak menggunakan pakaian yang (dianggap) tepat yaitu bikini atau kolor saja? Memangnya pantai ini punyamu? Ah, kamu aneh sekali waktu itu.

Oh ya, aku juga terinspirasi oleh beberapa tulisanmu di facebook. Kau ini memang suka ngelantur kalau menulis. Ya, maaf, aku membacanya kalau lagi ngelantur juga. Supaya nyambung, he...he.... Atau memang itu gayamu hingga tak ada penerbit yang mau menerbitkan naskah novel yang katanya kau kirim itu. Sudah berapa naskah yang kau kirimkan? Kasihan sekali. Mungkin sebaiknya kau jadi PNS di Bappenas atau Depkeu saja daripada jadi penulis. Kuberi tahu satu hal padamu, setelah membacanya, aku berkhayal bahwa selain cantik, Khadijah memiliki pesona yang mengagumkan.

Hm, ngomong-ngomong siapa yang memberimu kado itu? Sepertinya dia seseorang yang spesial. Aku jadi cemburu (just kidding, ha...ha...). Aku menebak: saat menerimanya kau terpana sekaligus terkejut, kau mungkin bertanya siapa pengirimnya tapi temanmu tak tahu siapa pengirimnya, lantas kau tak peduli pada siap pengirimnya, lalu kau tersenyum senang dan menciumi mawar itu sampai tertidur. Benar kan? Oh ya, apa yang diceritakan buku itu tentang Ummul Mukminin Khadijah ra? Mengapa semua menjadi bernama Khadijah ya?

***
AYAH KHADIJAH MEMANG BAJINGAN. Lelaki tak tahu adat itu meninggalkan Khadijah, Ibunya yang tengah hamil lima bulan dan seorang adik Khadijah yang masih kecil. Entah setan dari pegunungan mana yang merasuki pikiran lelaki itu sehingga sampai hati meninggalkan keluarga kecilnya tanpa sepeserpun uang. Lelaki itu membawa semua uang miliknya. Lelaki itu pergi entah kemana. Lelaki itu tak pernah kembali hingga Khadijah telah menyelesaikan pendidikannya di bangku Universitas. Lelaki itu hilang ditelan bumi. Khadijah tak peduli lagi.

Sebagian besar keluarga membiarkan saja masalah yang menimpa ibu Khadijah. Mereka menuding bahwa itu adalah karma yang memang harus diterima karena, Nina, Ibu Khadijah, telah berani menikah dengan lelaki yang berbeda agama. Ya, dalam Islam itu Zina. Zina adalah dosa besar dan kehinaan yang sungguh tak bisa ditebus. Khadijah pun dijauhi anggota keluarga karena dianggap sebagai anak dari hasil perzinahan. Khadijah masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) ketika itu. Dia hanya bisa menangis saat sepupu-sepupunya mengejeknya sebagai anak jadah. Haram. Anak yang membawa kesialan pada keluarga dan masyarakat.

Ditengah keterpurukan itu, Nina yang tak lama lagi akan segera melahirkan anak ketiganya, lari kerumah ibunya yang dulu ditinggalkannya demi cinta buta. Nina bersujud di kaki ibunya memohon perlindungan perempuan tua itu untuk kedua putrinya yang maish kecil dan anak yang akan segera dilahirkannya. Nina berjanji bersedia melakukan apapun yang dihendaki ibunya asalkan ada tempat bernaung dan tumbuh bagi Khadijah dan adik-adiknya. Perempuan tua itu adalah seorang ibu. Hati seorang ibu seluas samudera yang mampu menampung segala. Dia menerima kembali putrinya yang durhaka dan menciumi kedua cucunya yang masih kecil.

Perempuan tua itu sehari-hari berdagang sayuran segar di pasar. Menjual sayur –mayur cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya sambil menunggu waktu panen kopi tiba. Kebun kopi peninggalan suaminya yang hanya 1 hektare dirawat dengan sistem paroan oleh seorang tetangga. Setiap musim panen tiba, ia memperoleh uang cukup untuk memenuhi kebutuhannya dan menabung. Saat putrinya datang dengan kedua cucu kecilnya, ia merasa penciumannya dipenuhi aroma kembang kopi segar yang akan berbuah lebat untuk musim selanjutnya.

Perempuan tua yang segera dipanggil nenek oleh Khadijah dan adiknya, Aisyah, merasa sangat senang. Neneknya berencana memasukkan Khadijah ke sebuah pesantren apabila ia telah lulus SD. Neneknya ingin Khadijah mempeorleh pelajaran tentang akhlakul karimah sehingga tak meniru perilaku ibunya jika sudah dewasa. Neneknya melihat Khadijah cukup rajin beribadah dan sangat tekun dalam belajar. Ia telah mempelajari beberapa karakteristik pondok pesantren yang ada di kecamatan. Ada sebuah Ponpes besar yang sudah puluhan tahun berdiri dan menghasilkan lulusan yang baik. Neneknya ingin Khadijah memiliki masa depan yang baik, seperti menjadi santriwati teladan sehingga dapat menikah dengan keluarga Ustadz.

Saat Khadijah duduk di kelas 6 SD, Neneknya menyampaikan niat baik itu dan Khadijah merasa senang meskipun ia sangat ingin melanjutkan sekolah ke sekolah umum sebagaimana pilihan para sepupu dan teman-temannya. Khadijah berpikir mungkin neneknya tidak punya uang untuk membiayainya jika ia masuk sekolah umum. Khadijah memendam perasaan itu hingga sering mengigau saat tidur. Ia ingin masuk sekolah negeri. Semua igauan itu didengar ibunya dan ibunya tak kuasa menahan kesedihan karena nasib suram yang mungkin dialami putrinya.

Maka Nina memutuskan untuk menjadi TKW. Ia berangkat ke Taiwan untuk menjadi PRT. Dia tak peduli pada nasibnya sendiri. Nina hanya peduli pada Khadijah dan kedua putrinya yang lain. Nina tak mungkin membebankan persoalan masa depan ketiga putrinya pada ibunya yang sudah tua. Nina mengambil langkah strategis dalam menyelamatkan masa depan putrinya. Dengan menjadi PRT sekalipun, dan di negeri orang yang belum pernah dikunjunginya, ia rela. Ia akan mengirimkan sebagian gajinya setiap bulan untuk biaya hidup ketiga putrinya dan menabung sisanya untuk menyiapkan masa depan ketiga putrinya.

Sejak itu, Khadijah dan kedua adiknya hanya tinggal bersama nenek mereka. Khadijah berhasil masuk SMP terbaik di kecamatan dan boleh masuk pesantren jika ia sudah siap. Khadijah berjanji akan masuk pesantren sebagaimana keinginan neneknya. Khadijah hanya perlu waktu untuk melatih diri agar tidak kaget dengan ritme hidup pesantren yang sama sekali tidak dipahaminya. Khadijah berusaha belajar dengan rajin dan menyenangkan hati neneknya. Karena pembawaan Khadijah yang kalem dan menyenangkan, beberapa sepupunya mulai mendekat dan sering mengajaknya bermain. Beberapa paman dan bibi mulai terbuka. Khadijah merasa senang dan ia merasa bahwa Alloh swt selalu memberinya Rahmat meskipun kesedihan terus membayanginya karena ditinggalkan begitu saja oleh ayahnya.

Khadijah bukan tipe gadis yang membiarkan dirinya terus-menerus tenggelam dalam kesedihan. Kehilangan ayah dan ditinggalkan ibunya untuk bekerja di luar negeri tak membuatnya serta merta kehilangan gairah hidup. Khadijah sangat yakin bahwa ada hikmah istimewa yang sedang Alloh perlihatkan padanya. Karena itulah, setelah selesai ujian tahun pertamanya di SMP, Khadijah memutuskan untuk masuk pesantren. Hingga SMU Khadijah tinggal di pesantren. Gadis itu menjalani dua sistem pendidikan yang sama penting dan sama beratnya. Sesekali ia pulang ke rumah neneknya karena kangen dengan neneknya dan kedua adiknya.

Sebagaimana yang dijanjikan ibunya, setiap bulan Khadijah memperoleh kiriman uang dari Taiwan yang diterimanya melalui pos. Tak banyak, tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka sekeluarga. Lagipula neneknya sama sakali bukan tipe orang yang pelit. Sehingga Khadijah dan kedua adiknya tak pernah kekurangan suatu apapun. Mereka senang hidup bersama dalam kesedehanaan. Makan tiga kali sehari dengan sayur-mayur dan lauk seadanya, menghirup udara segar, membeli pakaian baru saat hari raya Idul Fitri, dan membeli peralatan skeolah baru saat kenaikan kelas. Ah, Khadijah merasa bersyukur dengan kehidupan yang dijalaninya.

Setiap bulan pula ibunya mengirimkan surat dari Taiwan. Ibunya menulis bahwa ia sudah mulai kerasan di negeri yang sangat jarang orang Islamnya. Ibunya menulis bahwa ia hanya seringkali merasa kesulitan saat harus menjalankan shalat lima waktu. Selain karena adanya perbedaan waktu, juga karena majikannya adalah seorang Protestan modern yang sama sekali tak memiliki toleransi beragama. Ibunya menulis, terkadang ia menangis saat harus menyiapkan masakan dengan menu daging babi atau makanan haram lainnya. Tapi majikannya mana mau mengerti, sebab bagi mereka semua yang diharamkan Islam tidaklah haram. Ibunya menulis kalau disana ia bekerja dengan keras.

Setiap kali menulis surat, ibunya selalu menulis sebuah kata maaf dan mengatakan bahwa Khadijah dan keluarga tak perlu mengkhawatirkannya. Ia merasa akan baik-baik saja, di ujung surat. Nina juga bercerita bahwa ia telah cukup mahir berbahasa Mandarin yang digunakan kebanyakan orang Taiwan, cukup terbiasa dengan budaya Taiwan dan musim yang berbeda-beda sepanjang tahun. Untuk menjaga imannya ia selalu menyempatkan diri berkumpul dengan sesama TKW asal Indonesia yang sering melakukan pertemuan dan pengajian yang difasilitasi oleh KBRI di Taipei. Mama baik-baik saja. Jangan khawatir, Geulis. Jaga adik-adikmu dan patuhlah pada Nenek. Ibu pasti akan pulang untuk kalian. Jangan lupa belajar yang rajin dan beribadahlah dengan ikhlas. Begitu tulis Nina, di akhir suratnya.

Khadijah tersenyum untuk segala kebaikan yang telah dikaruniakan Alloh untuknya dan orang-orang yang dicintainya. Karena itu, Khadijah semakin rajin belajar dan mengikuti setiap pelajaran di pesantren dengan baik. Sesekali hatinya menggebu-gebu ingin bertemu dengan ayahnya. Ia ingin sekali mengatakan pada ayahnya bahwa ia marah namun ia sangat menyayangi ayahnya. Khadijah memendam kerinduan itu dan berdo’a agar Alloh memberi hidayah pada ayahnya.

Dalam asuhan neneknya, Khadijah tumbuh menjadi remaja yang santun, rajin dan rendah hati. Beberapa keluarga sudah meliriknya. Khadijah adalah sosok yang tepat untuk dijadikan menantu. Namun, bila mengingat latar belakang ayah Khadijah yang Kristen dan punya perangai buruk, mereka berfikir ulang. Bisa saja Khadijah mewarisi sifat buruk ayahnya. Penilaian itu dilakukan beberapa keluarga yang memiliki anak laki-laki dan para orangtua yang merasa anak laki-laki mereka memiliki ketertarikan pada Khadijah. Masyarakat di desa itu tak mampu melupakan apa yang terjadi pada orangtua Khadijah. Mereka merasa kasihan pada gadis remaja itu. Terkadang para ibu menyesalkan nasib Khadijah yang malang. Mereka sering berbisik-bisisk, siapakah gerangan orangtua yang mau mengambil Khadijah sebagai menantu dan berbesan dengan keluarga tak beres.

Khadijah tak mendengar itu. Khadijah sedang sibuk belajar di pesantren. Khadijah sedang memenuhi impian neneknya untuk menjadi gadis yang baik dan membanggakan keluarga. Gadis yang tidak mempermalukan keluarga dengan mencederai kehormatan mereka sendiri. Di pesantren, Khadijah disukai teman-teman dan guru-gurunya karena ia gadis yang santun, baik hati, dermawan, rajin dan lembut. 

Bersambung...

Selasa, 03 Agustus 2010

Ya Rosululloh (Raihan)

Alangkah indahnya hidup ini
Andai dapat kutatap wajahmu
Kan pasti mengalir air mataku
Karena pancaran ketenanganmu

Alangkah indahnya hidup ini
Andai dapat kukecup tanganmu
Moga mengalir keberkatan dalam diriku
Untuk mengikut jejak langkahmu

Ya Rosululloh ya Habiballoh
Tak pernah tatap wajahmu
Ya Rosulalloh ya Habiballoh
Kami rindu padamu

Allohumma sholli ala Muhammad
Ya Robbi sholli alaihi wa sallim
Allohumma sholli ala Muhammad
Ya Robbi sholli alaihi wa sallim

Alangkah indahnya hidup ini
Andai dapat kedekap dirimu
Tiada kata yang dapat aku ucapkan
Hanya tuahn saja yang tahu

Ya Rosulalloh ya Habiballoh
Tak pernah kutatap wajahmu
Ya Rosullaoh ya Habiballoh
Kami rindu padamu

Ku tahu cintamu ke pada ummat
Ummati....ummati
Ku tahu bimbangnya tentang kami
Syafaatkan kami

Ya Rosulalloh ya Habiballoh
Terimalah kami sebagai umatmu
Ta Rosulalloh ya Habiballoh
Kurniakanlah syafaatmu
Ya Rosulalloh ya Habiballoh
Terimalah kami sebagai ummatmu
Ya Rosullaoh ya Habiballoh
Kurniakanlah syafaatmu

Allohumma sholli ala Muhammad
Ya Robbi sholli alaihi wa sallim
Allohumma sholli ala Muhammad
Ya Robbi sholli alaihi wa sallim

Senin, 02 Agustus 2010

Story : Janji Khadijah (1)

To: pangeranpemimpi@yahoo.com
From: perempuanpemimpi@yahoo.com
Date: 01/01/2010
Subject: Tidur Tanpa Dongeng

Pertama-tama aku ingin terlebih dahulu bercerita tentang saat-saat terakhir kita di Bali. Ingat tahun 2007 lalu? Saat aku pulang teman-temanku di Lampung ribut sekali karena oleh-oleh yang kubawa kurang banyak. Tepatnya kurang memuaskan mereka. Mereka saja yang hendak mengambil keuntungan dariku dengan menyembunyikan beberapa pin lalu meminta oleh-oleh lain padaku. Kain pantai, batik Bali, topi, syal, gantungan kunci dan buku-buku yang kubawa dari acara itu lenyap sudah entah kemana. Hugh, aku jadi tidak kebagian apapun. Jangan tertawakan aku! Ha…ha… menyebalkan.
Sepulang dari Bali hidupku biasa saja. Aku mengurusi pekerjaan dan melakukan beberapa kebiasaan yang sejak lima tahun lalu selalu kuandalkan untuk mengusir rasa sepi. Bagiku, kesepian yang menahun ini bagai karat yang mengerogoti tulang-tulang. Beberapa teman dekat yang selama ini sering melakukan kegiatan bersama sudah menikmati hidup mereka masing-masing. Aku ingin menjadi teman mereka yang baik. Teman yang tidak merepotkan. Teman yang tidak datang hanya ketika membutuhkan pertolongan. Teman yang tidak membuat mereka malu. Ya, aku harus menjadi teman yang 24 jam bersedia menjadi dewi penolong, yang mendengarkan keluhan-keluhan mereka, yang membalas sms mereka, yang membantu kesulitan mereka dan tidak membebani mereka dengan masalah-masalahku. Itu harga yang harus kubayar untuk persahabatan. Kupikir dengan demikian aku akan punya sahabat sejati yang akan menemaniku hingga kami sama-sama tua.
Aku tahu saat membaca ini kau akan tertawa. Tepatnya menertawakan aku. Kau benar, aku tak pernah bisa menjadi sahabat yang baik sebagaimana pernah kuceritakan padamu. Aku benci menjadi sahabat dari seseorang yang menjadikan aku hanya sekedar tempat pelarian masalah dan mereka melupakan aku ketika semua masalah itu telah selesai. Aku sudah menceritakan semua itu padamu. Aku tahu kau pasti bosan membacanya kembali melalui email ini. Sungguh, aku merindukan mereka. Aku ingin, ya, sekedar minum es teh atau makan kacang rebus di pinggir jalan seperti saat kami masih kuliah dulu. Semua kegiatan ringan itu cukup untuk menebus rasa kesepianku yang parah. Atau mungkin sekarang mereka tak membutuhkanku seperti dulu. Rasanya sedih sekali tak dibutuhkan sahabat-sahabat yang kita cintai. Mereka sahabat-sahabatku. Bagaimanapun, aku pernah mengisi ruang hati mereka sebagaimana ruang hatiku dipenuhi mereka. Aku merindukan sahabat-sahabatku dengan segala kepolosan dan kebodohan kami waktu itu. Kuharap, kau tak akan bosan. 
Semalam, langitku dipenuhi kembang api. Orang-orang meniup terompet. Ramai sekali. Pemuda, orangtua, anak-anak, gadis-gadis, mereka berkumpul di beberapa tempat umum seperti museum, lapangan merah, mal dan tentunya resort. Aku tahu di halaman museum yang luas, mereka memenuhi langit dengan kembang api yang indah dan berwarna-warni. Mereka juga menikmati malam pergantian tahun dengan makan sate kambing atau ayam khas Madura atau nasi goreng, beberapa diantara mereka mungkin juga makan jagung bakar atau minum kopi susu. Sebagian orang hanya ikut-ikutan merayakan pergantian tahun untuk mengatasi kejenuhan, sebab setiap orang sesungguhnya memiliki pergantian tahun mereka masing-masing. Pergantian tahunku bulan Mei.
Di balkon rumah, aku menyaksikan langit yang meriah. Sebelumnya, beberapa menit selepas waktu Isya, seorang teman mengantarkan kado dari seseorang untukku. Kau tahu apa isinya? Sebuah buku tentang Ummul Mukminin yang utama, Khadijah ra, dan setangkai mawar merah segar. Aku suka keduanya.
Kedua, posisiku disini sebagai orang kedua. Sesekali aku akan menyebut namanya agar lebih mudah dan aku akan menyebut anggota keluarganya sebagaimana Ia menyebutnya. Misalnya paman, bibi, kakek, nenek. Aku ingin agar aku seolah-olah menjadi ’Dia’. Ini penting. Aku tidak bisa menjadi orang ketiga, caraku bertutur akan sulit. 

***

KHADIJAH KECIL TERJAGA DIBALIK SELIMUT. Waktu itu pertengahan tahun 1990. Dia merasa kehilangan seseorang. Tubuh seseorang yang hilang itu tak ada disampingnya. Dikamar sebelah Ayahnya terbatuk-batuk sejak Ia pulang mengaji di Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) asuhan seorang pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) yang biasa dianggil Pak Otong. Khadijah mendengar napas Ayahnya tersengal-sengal. Terkadang Ia bisa melihat Ayahnya menggigil dan melipat tubuhnya agar hangat. Neneknya yang sudah tua, namanya Acih, seringkali memijat kepala Ayahnya yang katanya pusing seperti dipukul-pukul batu. Nenek Acih juga seringkali meletakkan handuk kecil di kening Ayahnya setelah merendamnya untuk beberapa saat didalam baskom berisi air hangat. Ayahnya sakit, begitu kata Nenek Acih, Paman Di dan Bibi Salma. Semuanya bilang Ayahnya sakit. Karena Ayahnya sakit maka Khadijah dan adiknya yang masih kecil tak boleh mendekat sebab bisa ketularan. Jika anak kecil demam sering ada anak jin yang mengganggu dan tentu saja akan menyusahkan keluarga. Khadijah tahu itu tak masuk akal, tapi gadis kecil itu menurut saja dan hanya mendengar lenguhan dan dengkuran Ayahnya dari kamar tempat Ia tidur sambil berbaring lurus dibawah selimut.
            Beberapa hari sebelumnya, Ayah dan Ibunya bertengkar. Ibunya kesal karena Ayahnya tak kunjung sembuh dari sakit sementara ia bosan harus hidup menumpang di rumah mertua. Ibunya tidak mau berbagi dengan adik iparnya, Paman Di, begitu pun dengan Bibi Salma yang tak lain merupakan istri Paman Di. Khdaijah tahu bahwa Ibunya dan Bibi Salma sering bertengkar karena hal sepele. Mereka saling bergunjing, tentunya untuk hal-hal buruk. Mereka saling mengadu kepada suami masing-masing dan Nenek Acih. Rumah ramai oleh Ibunya dan Bi Salma yang beradu mulut.
            Pertengkaran itu bisa saja disebabkan karena Ibunya yang tidak memberikan uang untuk membeli sayur sehingga Bibi Salma menganggap Ibunya hanya mau menumpang makan. Bibi Salma seringkali tidak mau memasak jika ia harus mengeluarkan uang sayur dari anggaran keluarganya untuk memenuhi kebutuhan makan seluruh keluarga. Permusuhan Ibu Khadijah dan Bibi Salma sering diibaratkan permusuhan abadi kucing dan anjing, sebab sama-sama keras kepala dan tak mau mengalah. Selain itu, mereka sering membesar-besarkan pemberian yang diberikan oleh masing-masing suami kepada keluarga besar Nenek Acih. Persoalan klasik dalam keluarga besar dengan beberapa keluarga.
            Begitulah, beberapa kasus kehancuran rumah tangga atau keluarga seringkali hanya disebabkan oleh persoalan sepele yang tak pernah dikomunikasikan dengan baik.
            ”Dasar perempuan!” begitulah Ayah Khadijah sering memaki Ibunya dan Paman Di memaki Bibi Salma. Khadijah selalu mengingat kata-kata yang sering diucapkan Ayahnya dan Paman Di jika sedang melihat istri mereka bertengkar sementara mereka pergi ke pos ronda untuk mengobrol atau sekedar memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang di jalanan. Kata-kata itu baginya seperti kilatan petir yang mematikan dan membuatnya merasa sedih. Apakah karena Ibunya dan Bibi Salma adalah perempuan sehingga mereka mempunyai perangai buruk seperti itu? Ya... begitulah Ayah dan Paman Khadijah sering mengatakan padanya dan pada adiknya yang masih sangat kecil. Begitulah perempuan dilahirkan, selalu membuat masalah dan menjadi beban.
            Ibu Khadijah tak tahan lagi dan ingin segera pulang ke rumah mereka di ibukota kabupaten. Tentu saja Ayahnya tak bisa sebab Ia sedang sakit keras sampai-sampai tak bisa bangun dari tempat tidur. Ayah Khadijah menjelma bayi besar yang hanya bisa merengek jika merasa terlalu lelah menahan sakitnya dan makan disuapi Nenek Acih. Keuangan keluarga tersedot untuk pengobatan Ayahnya dan Ibunya memandang keadaan ini akan memperburuk masa depan keluarga mereka. Ibu Khadijah marah dan Ia mengancam akan kabur. Ayah Khadijah menyilakan Ibu Khadijah pergi jika perempuan itu mau. ”Aku mau pergi saja. Aku sudak gak tahan hidup seperti ini. Kamu sakit, miskin dan kita menjadi beban untuk ibu kamu dan keluarga kamu. Aku mau pulang ke rumah orang tuaku dan akan membawa Nadia. Kalau bisa aku juga mau menjual rumah kita. Kamu harus setuju!” begitulah Ibunya memaksa sembari memasukkan seluruh pakainnya kedalam koper.
            Ayah Khadijah merasa terhina, ”Pergi sana kamu ke rumah orangtuamu dan jangan kembali lagi. Jangan kamu bawa anak-anakku!”, teriak lelaki itu keras-keras sebab Ibu Khadijah meninggalkan kamar begitu saja tanpa pamit dan membawa kopernya yang berisi pakaiannya dan pakaian Nadia. Nadia itu adik Khadijah yang waktu itu masih sangat kecil. ”Pergi saja kamu! Aku gak mau punya istri yang licik dan suka selingkuh. Kamu selingkuh dibelakangku! Kamu sudah menyakiti perasaanku dan membuatku merasa membenci diriku sendiri yang dikuasai perempuan kotor macam kamu. Hei jangan bawa anak-anakku! Jangan bawa Nadia!!”, teriak Ayah Khadijah dari dalam kamar dan Ibunya tak mau mendengarnya. Khadijah bisa melihat punggung Ayahnya bergetar hebat karena menahan amarah yang memuncak. Wajah Ayahnya yang penuh kasih mengeras dan memerah, pun dengan matanya yang menahan airmata.
            Kepergian Ibunya adalah tamparan keras bagi superioritas Ayah Khadijah sebagai seorang lelaki dan suami. Kepergian Ibu Khadijah secara tidak langsung menjadi sebuah pernyataan kepada keluarga dan masyarakat di desanya bahwa Ayah Khadijah adalah lelaki yang gagal menjalankan perannya terhadap perempuan, bahwa Ia adalah suami yang gagal menjaga keutuhan rumah tangganya dan bahwa Ia adalah manusia yang tak mampu menunjukkan kebenaran bahwa cinta tak selalu dibutuhkan dalam sebuah pernikahan. Buat keluarga besar mereka, kepergian Ibu Khadijah adalah kemenangan bagi pihak yang tak menyukai keutuhan keluarga besar mereka. Tentu saja tak perlu waktu lama bagi perempuan-perempuan tetangga di sekitar rumah mereka untuk bergunjing tentang keluarga mereka, Ayahnya, dirinya sendiri, Nadia dan masa depan keluarga mereka. Begitulah, ya, begitulah akhirnya Ayahnya ditakdirkan menghabiskan sisa hidupnya sebagai lelaki fatalis dan tak memiliki impian.
            Hm, sebenarnya Khadijah tak tahu apakah cerita itu benar atau tidak. Apakah sedramatias itu? Memorinya seakan-akan mengosongkan semua kenangan tentang masa kecilnya yang menyedihkan itu. Namun, Khadijah pernah mendengar sebagian cerita itu dari Ayahnya. Sebagiannya lagi dari Paman Di, Bibi Salma, Paman Ju dan Nenek Acih. Dia tak mau mempercayainya sebab Ia tak melihat Ayahnya dan Ibunya bertengkar hebat. Menurut Paman Di, Ibunya merebut Nadia untuk dibawa pergi dan Khadijah ditinggalkan bersama Ayahnya dan Nenek Acih. Seingat Khadijah, Ia merasa melihat Ibunya memandikan Nadia, membalur badan Nadia dengan minyak kayu putih, menaburinya dengan bedak bayi dan memakaikan pakaian yang baru di tubuh kecil adiknya. Saat itu Khadijah berdiri disamping amben dan melihat Ibunya mendandani Nadia. ”Kenapa Ibu enggak bawa Aku,?” Tanya Khadijah polos sebab Dia merasa iri karena Ibunya hanya mendandani Nadia dan memasukkan seluruh keperluan Nadia kedalam sebuah koper kecil. Ibunya terus saja mendandani Nadia. Menyisir rambutnya yang tipis dan pirang seperti rambut jagung, membenahi bedak yang terlalu tebal di beberapa bagian pipi putih milik Nadia. Ibunya melakukan semua itu dengan terburu-buru dan wajah yang pucat.
            Khadijah terus berdiri disamping amben memperhatikan Ibunya dan Nadia bergantian. Tak lama Ibunya menoleh padanya dan berkata, ”Dian, Nadia masih kecil, Ibu akan membawa Nadia pergi. Kamu disini baik-baik sama Ayah, Paman, Bibi dan Nenek ya..” Ibunya mengelus-elus rambut Khadijah yang panjang sepinggang dan berwarna hitam. ”Kapan-kapan Ibu kesini nengok kamu ya Nak ya...sekarang kamu sama Nenek ya”, dan Ibunya meneteskan air mata sembari terus membenahi pakaian Nadia. Nadia tersenyum pada Khadijah dan jemari mungilnya yang putih bersih hendak menjangkau hidungnya. Mereka kakak beradik yang sedang bingung dan harus saling melindungi. Khadijah tersenyum dan menyambut uluran tangan adiknya. Seolah Nadia ingin mengucapkan salam perpisahan padanya. Dia tak tahu apa yang kemudian terjadi antara dirinya dan Nadia, Khadijah masih sangat kecil ketika itu.
            Menurut cerita Nenek Acih pada Khadijah, ya... Nenek Acih bercerita tentang penggalan kisah ini kepada Khadijah saat gadis itu mendesaknya menceritakan kejadian yang membuat Ayah dan Ibunya berpisah. Nenek Acih bilang sewaktu Ibunya menggendong Nadia dan membawa kopernya ke ruang tengah, Paman Di dengan sigap merebut Nadia dari pangkuan Ibunya dan membawanya pergi ke pekarangan rumah salah seorang tetangga mereka. Neneknya menirukan ucapan Paman Di saat itu, ”Jangan bawa Nadia! Nadia putri kakakku dan Nadia keponakanku. Kalau kamu mau pergi, sana... pergi dan jangan kembali lagi! Jangan bawa Nadia ataupun Dian. Aku dan Ambu yang akan menjaga mereka jika kamu memang tetap mau meninggalkan rumah ini!”, begitulah Paman Di berkata-kata dipenuhi kemarahan kepada Ibunya dan langsung membawa Nadia jauh dari rumah agar ibunya tak dapat menemukannya.
            Ibunya pergi, sendirian. Khadijah tidak ingat apakah saat itu Ibunya melangkahkan kakinya yang kanan atau yang kiri saat keluar rumah. Khadijah tak ingat berapa jumlah koper yang Ibunya bawa. Khadijah tak ingat apakah Ibunya sempat menciumnya atau menoleh kepadanya sambil bercucuran air mata seperti yang seringkali Ia lihat dalam sinetron. Khadijah tak tahu apakah hati Ibunya remuk redam saat itu. Atau hati selain hati Ibunya yang justru remuk redam? Khadijah tak ingat apa yang Ibunya ucapkan padanya atau pada keluarga mereka yang marah saat itu. Yang Khadijah ingat dirinya menangis keras-keras dan Ia meronta-ronta dalam pelukan perempuan muda dan cantik yang ternyata adalah Bibi Nina, adik ayahnya. Khadijah menangis sebab perempuan-perempuan yang menyaksikan kepergian Ibunya yang juga menangis. Mereka bergantian menatapnya dan Ibunya. Tatapan bingung, iba, aneh dan benci. Khadijah tak tahu mengapa mereka menangis. Kata Nenek Acih dan Bibi Nina, waktu itu Ia berteriak-teriak dan menangis histeris sampai kedua matanya sembab.
            ”Ibu jangan pergi! Jangan pergi...jangan pergi, Ibu jangan pergi”, Nenek Acih menirukan sikap Khadijah saat Ia menangis sebab ditinggalkan Ibunya. Nenek Acih juga bilang bahwa dia menangis sampai tertidur dan sejak saat itu dia jarang menangis. Ya, seingatnya Ia lebih sering asyik dengan pekerjaannya dan bermain dengan adiknya yang masih belajar berjalan. Khadijah sibuk bermain-main dengan teman-temannya dan hanya menangis saat makanannya terkena sambal atau cabai. Nenek Acih selalu mengulang-ulang ceritanya, bahwa sewaktu kecil Ia sangat cengeng, tidak bisa makan lauk sendiri sehingga harus disuapi, takut pada duri ikan, tidak bisa memakan makanan yang terkena sambal atau cabai dan Ia sering sakit-sakitan. Khadijah sakit karena kesepian.
            Masih menurut Nenek Acih, sewaktu kecil, jika sudah sampai tengah malam dan merasa kedinginan Khadijah menggulung tubuhnya sampai-sampai hampir menyerupai bola agar tidak kedinginan. Khadijah tidak terlalu suka tidur memakai selimut. Jika udara terlalu dingin, dia sering mengompol dan membuat Bibi Salma marah-marah sebab dia harus mencuci seprai dan menjemur kasur. Begitu beruang-ulang, kata Nenek cih dan Nenek cih selalu terkekeh-kekeh hingga keluar air mata jika bercerita bagian ini. Sejak kepergian Ibunya, Khadijah dan Nadia dirawat Nenek Acih, Ayahnya, Paman Di, Paman Ju, Bibi Salma, dan Bibi Nina. Paman Di dan Bibi Salma belum dikaruniai keturunan sehingga Paman Di memperlakukan mereka seperti anak kandungnya sendiri. Khadijah menjadi anak Paman Di dan istrinya, Bibi Salma.
            Kehilangan seorang ibu dan tinggal bersama Bibi Salma yang kemudian Ia anggap sebagai ibunya, tak serta merta membuat Khadijah lupa pada obsesinya sebagai anak kecil. Ia ingin Bibi Salma mendongeng atau bercerita tentang apa saja sebelum Ia tidur. Tapi, Khadijah tak mungkin memintanya. Ia tahu Bibi Salam bukan tipe ibu yang seperti itu. Bibi Salma tak suka seni dan Ia tipe perempuan praktis.
            Khadijah berjanji, jika dia telah menjadi seorang ibu, ia akan mewujudkan obsesinya itu untuk menyenangkan putri-putrinya, membacakan dongeng dan kisah-kisah masa lampau sebelum tidur. Dia akan bercerita tentang Cinderella, Putri Salju, Van Helsing, Peter Pan, R.A Kartini, Cut Nyak Dien, Siti Hawa, Ratu Balqis, Lady Diana, Aisyah, Khansa, Marsinah, Bunda Teresa, Ibu Tien Soeharto, Megawati Soekarnoputri, Emmy Hafidz, Rosiana Silalahi, Sandrina Malakiano, dan sebagainya. Khadijah ingin dalam tidurnya, putri-putrinya bermimpi indah dan bertemu dengan tokoh yang dia atau suaminya ceritakan menjelang mereka tidur.
            Khadijah sangat terobsesi dengan dongeng. Ya, benar, itu karena masa lalunya. Saat Khadijah kecil, saat pertama kalinya aku tidur tanpa ditemani Ibunya dan Ayahnya yang terbaring sakit dikamar sebelah, Ia merasa sangat kesepian. Kesepian itu adalah rasa yang yang tak mampu Ia definisikan. Kesepian adalah rasa yang hanya mampu direkam otak tanpa mampu diucapkan mulut. Saat itu, semalaman Khadijah tak bisa memejamkan mata dan hanya terbaring lurus dibalik selimut. Tak ada suara lembut Ibunya yang membisikkan doa sebelum tidur ditelinga kanan sambil mendekapnya penuh kehangatan. Tak ada lagi cerita-cerita tentang kancil, kura-kura, monyet, timun emas, raksasa, putri dan orangtua tirinya yang jahat atau kisah malaikat pencabut nyawa yang akan mengambil nyawa anak-anak yang melawan pada orangtuanya dengan kejam dan sakit. Khadijah beranggapan bahwa Ayahnya tak mengerti perasaannya.
            Malam itu Khadijah hanya memandangi seisi kamar dan telinganya mendengar lenguhan Ayahnya karena rasa sakit yang tak kunjung membaik. Khadijah merasa sakit yang dialami ayahnya semakin parah sebab Ayahnya tak bisa menelan makanan dan kata Nenek Acih, Ayahnya semakin kurus. Dan saat itu Khadijah bertekad aku harus belajar, belajar mengingat semua cerita yang disampaikan Ibunya menjelang kami tidur agar Ia tak lupa bahwa Ia memiliki seorang Ibu. Khadijah juga belajar membaca do’a menjelang tidur tanpa bimbingan Ibunya. Khadijah tertatih-tatih menghapal bismika allohumma ahya wa amut...dengan menyebut nama Allah yang menghidupkan dan mematikan.
            Dongeng. Tak ada lagi dongeng yang sayup-sayup Ia dengar ditelinganya menjelang tidur. Khadijah kehilangan kebahagiaan sepanjang hidupnya sebab tak mendengar dongeng yang dibisikkan Ibunya. Ayahnya terlalu sibuk dan dia hanya mendidiknya dan adiknya dengan keras untuk mencapai prestasi akademik yang bagus. Ayahnya sibuk mencari uang untuk membiayai Khadijah dan Nadia. Mereka tak boleh melawan dan Ayahnya tak mau membacakan dongeng untuknya atau Nadia. Atau mungkin Ayahnya sesekali membacakan dongeng sebelum Nadia tidur sebab Nadia masih sangat kecil waktu itu? Nadia juga anak yang manis dan menggemaskan karena cantik. Mungkin yang didengar Nadia dari Ayahnya adalah sebuah dongeng yang menceritakan bahwa mereka tak boleh jadi anak nakal dan melawan orangtua.
            Begitulah Khadijah. Lalu dia ingin bekerja sebagai pembaca dongeng bagi anak-anak bermasalah seperti dirinya. Dia ingin meluangkan sedikit waktu dalam hidupnya dari masalah-masalah pribadi dan sosial yang menjengkelkan. Sesuatu yang tak mungkin sering dilupakan banyak orang. Dan dongeng, Khadijah tetap ingin mendongeng. Jika bukan untuk putri-putrinya yang memang belum dilahirkannya, maka Dia mendongeng untuk setiap anak yang ingin mendengarkan dongeng. Apakah Kau kenal dengan seorang anak yang ingin mendengarkan dongeng? Kau, maukah Kau mendengarkan dongeng Khadijah? Khadijah merasa dirinya kekanak-kanakkan sebab dalam dirinya masih bergelayut kenangan masa kanak-kanakanya yang menempel pada hidupnya bagai lumut yang mengerak di bebatuan. Dalam dongengnya, Khadijah akan menceritakan kisah seorang gadis kecil yang setia menunggu Ibunya pulang sembari menyender di pagar bambu. Terkadang ia meneteskan air mata. Air mata dari sumur kesedihan yang sangat dalam.
            Khadijah memulai dongengnya, katanya: Gadis kecil itu, yang kini sudah bukan anak kecil lagi, selalu merasa kangen dengan Ibunya. Kangen pada suara lembutnya saat membacakan dongeng sebelum tidur. Gadis kecil itu tak mau tumbuh menjadi gadis dewasa sebelum ia bertemu dengan ibunya. Seperti kisah Peter Pan. Tapi gadis itu akhirnya tumbuh menjadi perempuan dewasa dan ibunya tak pernah pulang. Akhirnya gadis itu memutuskan untuk mendongeng pada gadis-gadis kecil yang sudah menunggu di tempat tidurnya yang empuk dan hangat. Dia akan medongeng tentang seorang gadis kecil yang berlari-lari gembira di atas rerumputan lalu menari bersama kunang-kunang.
            ”....Gadis kecil itu berlarian diantara kepak sayap kupu-kupu yang memanggil kunang-kunang. Kakinya yang telanjang bersentuhan dengan butir-butir embun. Kaki mungilnya yang halus membelai rumput-rumput itu dengan sebuah keyakinan bahwa hidup ini sesungguhnya diciptakan agar diantara makhluk saling mencintai. Seekor kupu-kupu mendarat di tepalak tangan gadis kecil itu, gadis itu tersenyum dan melepaskan kupu-kupu di tangannya untuk menari bersama kunang-kunang. Gadis kecil itu terus berlarian dan menari hingga malam tiba dan kunang-kunang bercahaya. Gadis itu menari bersama kunang-kunang dan membiarkan kupu-kupu tidur malam. Kupu-kupu harus tidur untuk menemaninya bermain keesokan hari. Hanya gadis kecil itu yang tak pernah tidur, gadis kecil itu selalu tersenyum dan tertawa-tawa sambil berlarian diantara kunang-kunang. Gadis itu tidak boleh berhenti tersenyum, tertawa dan menari sebab jika ia berhenti ia akan menangis. Jika gadis kecil itu menangis, maka dunia akan menjadi gelap gulita. Gadis kecil itu adalah peri. Peri kecil yang cantik dan selalu membawa kegembiraan. Selamat tidur, semoga kegembiraan dan keceriaan senantiasa menyertai hidup kita.” Khadijah menutup dongengnya dan dengan lembut ia membenahi selimut. Mata kanak-kanak yang terpejam selalu membuatnya teringat masa kecilnya. Lalu ia pergi ke kamarnya untuk memandangi langit atau mengerjakan tugas-tugas kuliahnya.
            Benar, Khadijah sempat menikmati hidup dengan dua mimpi masa kecilnya yang terkabul, yang menurut sebagian orang adalah kekonyolan. Bekerja di toko buku dan menjadi pendongeng. Khadijah bekerja di toko buku selama satu setengah tahun, dan menjadi pendongeng selama dua tahun. Khadijah mendongeng untuk anak-anak kecil di sebuah panti asuhan yang ia kunjungi setiap tiga kali dalam seminggu.

Bersambung...