Sabtu, 31 Juli 2010

Kisah perempuan (1) : Souad (seorang perempuan yang lolos dari pembunuhan atas nama kehormatan)

Aku seorang gadis. Karena itu mesti berjalan cepat-cepat, kepala menunduk, seolah-olah tengah menghitung jumlah langkah yang diayunkan. Seorang gadis sama sekali tidak boleh menyimpang dari jalannya, bahkan tengadah sedikit saja. Karena jika seorang laki-laki sempat menangkap pandangan matanya, seluruh desa akan mencapnya sebagai charmuta. Jika seorang perempuan tetangga yang sudah menikah atau seorang perempuan tua, atau siapapun yang memergoki dirinya keluar rumah tanpa ibu atau kakak perempuannya, tanpa domba, tanpa membawa seikat rumput kering atau sekantong buah ara, mereka akan menyebutnya charmuta. Seorang gadis mesti dikawinkan sebelum dia bisa mengangkat mata dan menatap lurus kedepan, atau sebelum dia sempat masuk ke sebuah toko, atau sebelum dia sempat mencabut alis dan mengenakan perhiasan. Ibuku dikawinkan pada usia empat belas tahun. Jika seorang gadis masih belum dikawinkan pada usia itu, seluruh desa akan mengolok-olok. Tetapi seorang gadis harus menunggu giliran untuk dikawinkan dalam keluarganya..." tulis Souad dalam lembar pertama memoarnya, yang membuatku bergidik ngeri dan bertanya, masyarakat macam apakah tempat ia ditakdirkan terlahir sebagai perempuan?

Souad adalah seorang gadis yang dilahirkan pada tahun 1957 (1958) di sebuah desa di Tepi Barat, Palestina. Souad adalah anak ketiga dari empat bersaudara dari seorang ibu bernama Laela, dan dari keempat anak tersebut ia hanya memiliki satu orang saudara laki-laki yaitu Asad, adik bungsunya. Ia juga punya dua adik perempuan dari ibu tirinya yang bernama Aicha. Ayahnya, Adnan, menikahi Aicha dengan harapan akan mempeorleh banyak anaka lelaki sebab istrinya, Laela membuatnya kesal dengan terus-menerus melahirkan anak perempuan. Baginya dan bagi lelaki di desanya, kelahiran anak perempuan adalah aib.

Karena tidak bersekolah, ia hanya bisa berbahasa Arab dan sangat awam dengan dunia sekelilingnya. Baginya, dunia hanyalah desa tempatnya tinggal dan kota tempat ayahnya menjual hasil kebun dan membeli kebutuhan rumah tangga.Gadis itu tidak tahu apakah bumi itu bulat atau datar. Yang dia ketahui, benar-benar dia ketahui adalah bahwa mereka mesti membenci orang-orang Yahudi, telah mengambil tanah airnya. Ayahnya menyebut mereka babi dan mereka semua dilarang keras berdekatan dengan orang Yahudi jika tidak ingin menjadi babi. satu-satunya anggota keluarga yang bersekolah adalah Assad, anak bungsu yang diperlakukan sebagai raja. "...sebagaimana yang telah kututurkan sebelumnya, didaerah asalku, terlahir sebagai perempuan merupakah sebuah kutukan: seorang istri pertama-tama mesti melahirkan anak laki-laki, sedikitnya satu orang. Dia akan menjadi bahan olokan jika hanya melahirkan anak perempuan. Paling banyak dua atau tiga anak perempuan diperlukan untuk mmebantu pekerjaan rumah tangga, untuk bekerja di ladang dan mengurus binatang ternak. Jika jumlah anak perempuan lebih dari dua atau tiga, itu merupakan malapetaka dan mereka musti disingkirkan secepat mungkin dari rumah atau keluarga. Aku hidup dalam lingkungan seperti itu sampai aku berusia delapan belas tahun, tidak tahu apa-apa kecuali bahwa aku tidak lebih berharga daripada seekor binatang karena aku seorang perempuan." Terang Soaud lagi. Assad, satu-satunya anak lelaki keluarga ayahnya, dapat melakukan apa saja, seperti sekolah dan menyandang tas, menonton film di bioskop, membeli baju-baju bagus, berjalan-jalan diata spunggung kuda layaknya pangeran dan bermain dengan teman-teman sebayanya. Asad, sebebas angin. Sedangkan ia dan saudara perempuan lainnya akan dikunci didalam rumah jika pekerjaan mereka telah selesai. Seumur hidup, ia tak akan bisa keluar rumah kecuali seorang lelaki menikahinya untuk menuju rumah baru. "...aku tidak akan pernah pergi melewati pintu itu, tidak akan pernah...."

Sebagai seorang anak perempuan, bersama saudara perempuannya, sehari-hari ia harus mengurus domba dan kambing karena ayahnya memiliki ternak domba dan kambing yang banyak. Souad bekerja lebih berat dibandingkan seekor kuda pengangkut beban. Pagi-pagi sekali Souad sudah pergi ke kandang untuk mengumpulkan ternak dan mengawal mereka ke padang rumput, bersama saudara perempuannya, Kainat, yang umurnya hanya setahun lebih tua darinya. Sedikit kesalahan yang dibuatnya dalam melakukan pekerjaan rumah tangga, seperti mencukur bulu domba dengan gunting yang begitu besar untuk ukuran jarinya, memerah susu domba betina, membuat keju, membuat roti, mencuci pakaian,terlambat pulang dari padang rumput dan sebagainya, maka ia akan dipukuli ayahnya dengan ikat pinggang.

"Ayahku begitu berkuasa, raja di rumah tangga, yang menjadi pemilik, yang memutuskan, yang memukuli dan menyiksa kami. Dia duduk disana dengan tenang sambil menghisap pipa tembakaunya di depan rumah, hidup bersama para perempuan yang diperlakukannya jauh lebih buruk daripada hewan ternak, terpasung sama sekali." Uangkapnya dan aku bisa merasakan betapa pedihnya ditakdirkan menjadi dirinya. "Ayahku bertubuh kecil dan kejam. Dia biasa membuka ikat pinggangnya dan berteriak... kenapa domba-domba itu pulang sendiri?!!....kemudian dia akan menjambak rambutku dan menyeretku ke dapur. Dia pernah memukuli aku saat sedang berlutut dan menarik rambutku seolah-olah akan mencabutnya dan memotongnya dengan gunting besar yang biasa digunakan untuk mencukur bulu domba. Aku hampir tidak punya rambut lagi yang tersisa. Aku bisa menangis, menjerit-jerit atau memohon belas kasihan, tetapi itu akan membuatnya terus memukuliku. Seingatku setiap hari kami dipukuli dengan ikat pinggang atau tongkat.....Suatu waktu dia mengikat kami, Kainat dan aku, kedua tangan kami dibelakang punggung, kaki kami terikat dan sebuah syal diikatkan kemulut kami untuk mencegah kami berteriak. kami berada dalam posisi seperti itu semalaman, terikat pada sebuah pintu di kandang. Kami bersama para binatang, tetapi bernasib jauh lebih buruk dari mereka." Itulah yang terjadi didesanya. Itulah hukum kaum lelaki.

Saat berusia sepuluh tahun, Souad mendapatkan menstruasi pertamanya. Ia begitu takut sehingga menyembunyikannya selama berbulan-bulan. Didesanya, perempuan yang telah mengalami menstruasi berarti dianggap dewasa dan berarti ia akan segera dikawinkan. Saat Noura, kakak pertamanya menikah, Souad telah berusia 15 tahun. Dia seharusnya sudah menikah, namun Kainat belum juga ada yang melamar sehingga ia harus menunggu. "Pada suatu hari aku menyajikan teh untuk kakekku, ayah dari ibuku dan aku maish bisa mengingat kata-katanya, ...ada baiknya kau kawin pada usia muda, kau punya bisa punya anak empat belas...dan seorang putra. itu baik sekali..."

Meskipun tidak bersekolah, Souad mampu menghitung domba yang berarti ia mampu menghitung jumlah anggota keluarganya. Ibunya punya empat belas anak, tujuh diantaranya hidup.Pada suatu hari Soaud baru tahu mengapa hanya mereka bertujuh yang hidup, saat usianya kurang dari sepuluh tahun. " Pada saat itu ibuku tengah terbaring di lantai beralaskan kulit domba. Dia sedang dalam proses melahirkan, dan bibiku Salima menungguinya, duduk diatas sebuah bantal. Kemudian terdengar sebuah jeritan dari ibuku, disusul oleh suara tangis bayi. Lalu dengan cepat ibuku mengambil kulit domba yang menjadi alas tidur dan membekapkannya pada sang bayi. Aku melihat bayi itu bergerak sekali, kemudian semuanya berakhir. dan sejak itu bayi itu tak ada lagi. bayi itu pastilah seorang perempuan. ...dan aku melihat itu berkali-kali... dan kudengar Noura berkata kepada ibunya...jika aku punya anak-anak perempuan, aku juga akan melakukan apa yang kau lakukan...begitulah cara ibuku terbebas dari tujuh anak perempuan yang dilahirkannya setelah Hanan, yang merupakan bayi perempuan terakhir yang selamat".

"Di desaku, jika para lelaki dewasa disuruh memilih antara seorang gadis dan sapi, mereka akan memilih sapi. Ayahku selalu mengulang-ulang tanpa henti, bahwa kami, kaum perempuan, tidak ada artinya. Seekor sapi menghasilkan susu dan anak sapi. kau bisa menjual keduanya dan membawa uangnya pulang. Sedangkan anak perempuan? apa yang didapatkan darinta? tidak ada. Dan akmi anak-anak perempuan tahu, karena sapi-sapi dan domba-domba tak pernah dipukuli". Souad dan saudara-saudara perempuannya selalu bergumul dengan kematian yang bisa datang kapan saja, menurut kemauan sang ayah. Bahkan ibu mereka pun tak mungkin mereka harapkan karena memperoleh perlakuan yang sama. Ketika berumur 17 tahun, Assad menjadi lelaki kejam sebagaimana ayah mereka dan memperlakukan ibu dan saurada-saudara perempuannya sebagaimana yang dilakukan oleh ayahnya. Bahkan Souad dan dua adik perempuannya, melihat Assad mencekik leher Hanan dengan kabel telepon dan Hanan mati. Souad tidak tahu mengapa Hanan diputuskan harus mati, dibunuh oleh Assad, adiknya.

Kemudian Noura, kakaknya, menikah dengan Hussein dan mereka berpindah ke rumah baru Hussein. Pernikahan dialngsungkan setelah kesepakatan antara dua keluarga, oleh laki-laki, dirasa memuaskan, dan perempuan tak tahu apa-apa. Pasca pernikahan nasib Noura tak berbeda dengan nasib ibunya, Nora sering dipukuli suaminya. Dan Souad jatuh cinta, pada usia tujuh belas tahun, pada seorang lelaki yang kelak akan dikawinkan dengannya. namun ia harus menunggu Kainat menikah terlebih dahulu. Dan lelaki bernama faiez itu tampan, cerdas dan membuat Souad takluk. Bagai membawa bara api ke badai salju, dia merayu Souad dan berjanji akan menikahinya secepatnya. Souad hamil. Karena ketakutan ia berusaha menutup-nutupinya dengan berbagai alasan. Sebab jika ketahuan ia akan menjadi aib keluarga dan ia akan dibunuh.

Faiez ingkar janji dan menghilang. Perut Souad yang semakin membesar membuat ketakutannya semakin menjadi sebab ia sudah menyadari bahwa ayahnya dan seluruh anggota keluarga telah mengetahui aib yang dilakukannya, bahwa ia hamil diluar pernikahan. Dan suatu hari, dengan diam-diam ia mendengarkan sebuah rapat keluarga, yang memutuskan bahwa seseorang diantara anggota keluarganya bertugas menghilangkan nyawanya, membunuhnya. Dan saat seluruh anggota keluarga pergi entah kemana, sebab semua memusuhinya, kakak Iparnya, Hussein muncul. Souad sudah tahu bahwa Hussein yang bertugas mengurusnya. Hussein membakarnya. Saat menyadari dirinya terbakar, Souad berlari menjauh sambil menjerit-jerit, dan ditengah perjalanan dia diselamatkan oleh sekumpulan perempuan yang kemudian membawanya ke rumah sakit.

Para dokter dan perawat di rumah sakit bersikap kasar padanya dan memperlakukannya dengan jijik. Mereka tak mampu berbuat banyak sebab kasusnya adalah kasus keluarga yang menjadi hal biasa di desanya. Lalu, seorang perempuan, Jaqueline, yang bekerja pada sebuah organisasi internasional bidang kemanusiaan, Terre des Hommes, berusaha menyelamatkannya dan berjanji akan membawanya ke Eropa. dalam kondisi tubuh terbakar, Ayahnya, Ibunya datang berkunjung dengan maksud untuk menuntaskan pembunuhan, dengan racun yang sebening air yang harus diminumnya, sebab jika tidak, maka Assad, adik lelaki yang disayanginya akan berurusan dengan polisi. Souad juga melahirkan anaknya yang kemudian dibawa pihak rumah sakit ke panti aishan dengan alasan, meskipun anaknya lelaki, tetap saja membawa aib sebab merupakan hasil hubungan diluar pernikahan. Dan akan itu akan menanggung aib itu seumur hidupnya, dimanapun dia berada. Dengan perjuangan keras, setelah melobi pimpinan organinsasinya yaitu tuan Edmond Kaiser, Jaqueline mulai mengurus dokumen pemindahan Souad ke Eropa. Dengan bantuan dokter Hassan, ia berhasil menuntaskan dokumen persetujuan keluarga Souad bahwa gadis malang itu telah mati dan akan dikuburkan di Eropa. Jaqueline juga telah menemukan Marwan, putra Souad di sebuah panti asuhan dan melobi mereka untuk mengambil gadis itu. Jaqueline juga, dengan perjuangan teramat sulit, berhasil melobi kenalannya di pihak Isreal untuk memuluskan visa bagi Souad dan putranya.

Tahun 1970, Souad dibawa ke Swiss dan putranya Marwan dinyatakan dilahirkan pada tanggal 20 Desember di Swiss. Disana Souad akan menjalani hidup barunya dan di desanya ia telah dianggap mati, untuk selamanya. berkali-kali ia harus menjalani operasi dan merasa takjub dengan masyarakat Eropa yang bebas, merdeka dan ceria. Merasa nyaman saat menjalani operasi maupun perawatannya karena dokter-dokter dan perawat di Eropa bersikap begitu lembut. Ia pun melihat perempuan-perempuan Eropa dapat melakukan apa saja sesuai keinginan mereka. Souad merasa takjub dengan paras cantik perempuan-perempuan di Eropa, pada wajah mereka, rambut mereka, kaki mulus mereka, sepatu mereka yang bagus dan berupa-rupa, dan pada pakaian mereka yang indah. Kemduian Mereka pindah ke Prancis. Karena usianya masih diaktegorikan anak-anak, maka Souad dan putranya, diadopsi oleh sepasang suami istri yang baik yang didanai oleh Terre des Hommes. Souad mulai membaik dan ia merasa senang berada di Eropa sebagai kehidupan keduanya, bahwa ia belum mati, telah diselamatkan, dan bahwa putranya yang tampan juga ada bersamanya. Souad belajar bahasa Prancis dan belajar Al-Qur'an dan memiliki keinginan untuk bekerja agar ia punya uang sendiri.

Souad bertemu dengan Antonio dan mereka hidup bersama selama tujuh tahun, setelah Antonio mapan kemudian mereka menikah dan membeli sebuah rumah kecil. Souad kemudian melahirkan putrinya, Laetitia, kemudian beberap tahun kemudian melahirkan Nadia. Meski telah memiliki keluarga yang bahagia, dengan suami yang setia, baik hati dan lembut juga dua orang putri yang cantik-cantik, Souad masih belum bisa melupakan masa lalunya, terutama saat dia melihat luka-luka bakar di sekujur tubuhnya
dan teringat akan Mawran yang berada dalam asuhan orang tua angkatnya. ketakutannya juga berdampak pada kehidupan rumah tangganya, seperti seluruh peralatan rumah tangga seperti kompor, menggunakan kompor listrik, dan tak ada yang boleh menyalakan api di rumah itu.

Souad juga mulai belajar menulis dengan menggunakan pensil, lalu mulai membaca, yang diawalinya dengan membaca pengumuman di surat kabar, berita perkawinan dan iklan mobil bekas. Souad sudah mulai memahami berita yang dibacanya dri surat kabar pada setiap pagi sebelum berangkat kerja. ia juga sudah mulai memahami geografis Eropa, tentang kota-kota besar dan kota-kota kecilnya. Di Italia, Souad sudah mengunjungi Roma, Venesia dan Portofino. Ia juga sudah mengunjungi Barcelona di Spayol bersama orangtua angkatnya saat liburan musim panas. Souad juga menonton laporan serta perkiraan cuaca internasional di televisi dan berusaha mengingat tempat-tempat seperti Madrid, Paris, London, Beirut dan Tel Aviv.

Lima belas tahun kemudian, tahun 1985, Jaqueline meminta bantuan Souad untuk memberikan kesaksian atas nama Sugir Association. Dan Souad menerangkan segalanya seolah -oleh telah kembali ke negerinya dan mengalami kembali deritanya. "Salah seorang peserta pertemuan itu berdiri dan mengajukan pertanyaan...Souad, wajah anda cantik, dimanakah bekas-bekas luka bakar itu? ...aku pun berdiri, dan didepan semua orang yang hadir aku membuka kemejaku. ....aku menunjukkan kedua lenganku dan punggungku. Lalu wanita itu pun mulai menangis. Beberapa laki-laki yang hadir disana kelihatan risih. Mereka merasa kaishan padaku. Ketika aku menunjukan diriku didepan publik, aku merasa seperti orang sinting yang memberikan pertunjukan tambahan. Tetapi dalam situasi seperti itu aku tidak merasa terganggu, karena aku tengah memberikan kesaksian dan aku harus membuat orang-orang mengerti bahwa aku merupakan seorang yang beruntung selamat". Dia merasa berutang nyawa pada Jaqueline yang telah menolongnya dan pekerjaan Jaqueline membutuhkan saksi hidup untuk menunjukkan pada orang lain tentang realitas kejahatan atas nama kehormatan. Karena kebanyakan orang tak tahu bahwa hal tersebut benar-benar terjadi. Itu karena disebabkan sangat sedikit perempuan korban yang selamat, dan karena mereka tidak tampil di depan publik, demi keselamatan mereka.

Dalam kesaksiannya Souad menerangkan, "...disana seorang perempuan tidak punya kehidupan. gadis-gadis banyak yang dipukuli, dianiaya, dicekik, dibakar dan dibunuh. Ibu saya sendiri bahkan ingin meracuni saya untuk menyelesaikan tugas kakak ipar saya. Seperti itlah kehidupan yang normal bagi perempuan disana. ...sapi dan kambing seperti yang pernah dikatakan ayah saya, lebih berharga daripada perempuan. Jika anda tidak ingin mati, sebaiknya ada diam saja, patuh, menghambakan diri, tetaplah perawan sampai anda dikawinkan dan lahirkanlah anak laki-laki", dan ia melanjutkan, "Seandainya saya tidak berhubungan dengan seorang laki-laki, kehidupan seperti itulah yang harus aya jalani. Anak-anak saya akan seperti saya, cucu-cucu saya akan seperti anak-anak saya. Jika saya hidup disana, saya juga akan normal, seperti ibu saya yang mencekik anak-anaknya sendiri. saya pun mungkin akan membunuh anak perempuan saya sendiri. Saya mungkin sudah membiarkan seseorang mati terbakar. .....sampai saya ada di Eropa dan melihat anak-anak gadis dihargai sama seperti anak-anak laki-laki"

Nadia berumur delapan tahun dan Laelitia berumur sepuluh tahun saat Souad pertama kalinya diundang untuk berpartisipasi dalam sebuah siaran radio. Anak-anak perempuannya itu lebih banyak tahu kisah hidup Souad melalui wawancana di radio itu. "Setelah mendengarkan siaran, Laelitia bereaksi keras...Berpakaianlah sekarang, Mama dan berkemaslah. Kita akan naik pesawat dan pergi ke desa Mama itu. Kita akan membakar mereka. Kita akan menyalakan korek api dan membakar mereka seperti yang mereka lakukan pada Mama...dan Laelitia pun dirawat oleh psikiater selama enam bulan sehingga ia tak mengatakan lagi ingin pergi kesana....dan aku memahami bahwa kisahku akan membebani mereka hingga masa depan." Lalu dalam kesaksiannya lagi, " Aku telah bertemu gadis-gadis lain yang datang dari negeri jauh, seperti aku beberapa tahun lalu. Mereka semua sedang dalam persembunyian. salah seorang dari mereka tidak mempunyai kaki: dia diserang oleh dua orang aki-laki tetangganya yang kemudian mengikat dan meletakannya diatas rel kereta api. Seorang gadis lain hendak dibunuh oleh ayah dan saudara laki-lakinya sendiri dengan menikamnya dan melemparkan tubuhnya kedalam sebuah tong sampah. Ada juga seorang gadis yang dilemparkan keluar jendela oleh ibu dan dua saudara laki-lakinya: dia kini cacat. Ada banyak perempuan-perempuan lain yang tak sempat kuketahui, juga mereka yang ditemukan sudah meninggal. Ada mereka yang berhasil melarikan diri, tetapi kemudian tertangkap di negeri lain dan dibunuh. Ada juga mereka yang berhasil melarikan diri, dan bersembunyi, dengan atau tanpa anak, masih gadis atau sudah menjadi ibu. Aku belum pernah bertemu perempuan lain sepertiku. Mereka yang dibakar tidak ada yang selamat. Dan aku maish bersembunyi. Aku tak bisa menggunakan namaku sendiri, menunjukkan wajahku. Aku hanya bisa berbicara. Itu satu-satunya senjata yang kumiliki" Ungkapnya.

Setelah menolong Souad, Jaqueline masih bekerja seperti biasanya, menyelamatkan para perempuan dari kematian. Yayasannya bekerja di seluruh dunia dimanapun mereka diperlukan. Di Afganistan, Maroko, Chad, Yordania. Namun dunia masih saja lamban mengatasi berbagai kekejaman yang ditimpakan kepada kaum perempuan di belahan dunia tertentu. Lebih dari enam ribu tindak kejahatan atas nama kehormatan terjadi setiap tahunnya. Dan dibeberapa negara, kaum perempuan dipenjarakan karena melakukan protes, yang diduga dalam rangka menyelamatkan hidup mereka. Sebagain mereka ada yang sudah dipenjara selama lima belas tahun, yang harapannya akan dikeluarkan oleh ayah atau saudara laki-laki mereka yang juga sangat ingin membunuh mereka. Ada dua perempuan yang dibebaskan dan kemudian dibunuh.

Sedikit-demi sedikit otoritas-otoritas yang berwenang di negara masing-masing mengakui berbagai tindakan itu sebagai perbuatan kriminal. Laporan mengenai Komisi hak Asasi Manusia di Pakistan pun diterbitkan. Di Timur Tengah undang-undang kesehatan publik menyediakan informasi tentang jumlah kasus yang diketahui. Dimanapun, pemerintah terus mendata jumlah gadis-gadis dan perempuan yang dibunuh, di Timur Tengah ataupun di Turki, adat istiadat terus berlanjut secara membabi buta, dan harus diakhiri. dalam beberapa tahun belakangan, beberapa penguasa seperti Raja Hussein di Yordania dan Almarhum raja Hasan di Maroko sudah menyatakan diri secara terbuka tentang tindakah kejahatan atas nama kehormatan. Para Imam dan Pendeta Kristen secara terus menerus menjelaskan bahwa kehatan atas nama kehormatan seperti itu merupakan hal asing di dalam Al-Quran dan Al-Kitab.

Souad dan keluarga barunya, suaminya dan kedua putrinya begitu baik padanya dan mendukungnya untuk terus lepas dari bayang-bayang masa lalunya. Dan mereka pun membawa Marwan untuk tinggal bersama mereka sehingga Laelitia dan Nadia punya kakak laki-laki yang akan melindungi mereka. " Aku menceritakan kisah kehidupanku untuk pertama kalinya dengan memaksa memoriku mengeluarkan segenap pengalamanku, meskipun itu terkubur amat dalam. Tugas ini lebih menantang ketimbang memberi kesaksian didepan publik, dan lebih menyakitkan ketimbang menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan anak-anakku. Aku berharap, buku ini akan berkeliling dunia, bahwa dia akan mencapai Tepi Barat dan bahwa kaum lelaki disana tidak akan membakarnya."

Begitulah kisah Souad yang memberiku inspirasi untuk menjadi perempuan yang kuat. Memperjuangkan apa yang menjadi hakku sebagai perempuan, mahkluk yang sejajar dengan temannya, laki-laki. Selengkapnya tentang kisah ini baca di: Souad, 2006. Burned Alive: Kisah nyata yang mengguncangkan tentang seorang perempuan yang lolos dari pembunuhan atas nama kehormatan. Pustaka Alvabet. Jakarta.

Meskipun Adam adalah yang disebutkan pertama kali kemudian nama istrinya, Hawa, namun tanpanya manusia tak akan berketurunan. So, lelaki dan perempuan atau perempuan dan lelaki, hiduplah sebagaimana digariskan: sejajar

Jumat, 30 Juli 2010

Sahabat kecil : Tury

Aku ingat pada seorang teman. Kami berteman sejak SMP. Sebut saja namanya Tury -nama panggilan yang ia suka-. Tury adalah gadis tomboy yang imut, ceria dan cerdas. Sejak SMP hingga SMU kami sering berbagi banyak hal. Kami berburu Wiro Sableng dan Petruk ke pasar Sabtu dengan berpura-pura mau ke Puskesmas. Kami sama-sama menggemari Conan dan komik-komik tentang balerina. Kami sering membawa makanan ke kelas dan memakannya sambil mendengarkan guru menerangkan pelajaran (sangat tidak sopan sih). Kami sering menonton film bersama dan tertawa-tawa atau menangis bersama. Kami sering terbengong-bengong saat menyaksikan teman-teman kami yang sedang asyik bermain basket dari anak-anak tangga di depan kelas kami. Kami sering pulang ke rumahnya saat istirahat dan menghabiskan makanan yang dibuat kakak iparnya. Kami bercerita tentang mimpi-mimpi yang kami alami dalam tidur kami. Kami juga sering bercerita tentang impian-impian kami di masa depan.

Tury suka Fisika, Aku suka Antropologi. Tury suka Matematika, aku suka Sosiologi. Tury suka Biologi, aku suka Sejarah. Tury masuk PMR, Aku masuk Pramuka. Tury gandrung basket, Aku gandrung kemah. Tury bebas berteman, Aku dibatasi. Tury suka keluyuran ke luar kelas, Aku suka ngerumpi di dalam kelas. Tury ke Jawa, Aku di Lampung. Ah, cara Allah menunjukkan takdir memang aneh tapi logis.

Aku kangen pada Tury. Sungguh-sungguh kangen. Aku ingat, pada bulan Mei 2002, saat kami duduk dikelas 2 SMU, saat dia sangat dekat denganku dan aku sangat dekat dengannya, sebagai sahabat yang saling memberi dan berbagi, Tury memberiku sepucuk surat di hari ulang tahunku. Tury ingin menyenangkan hatiku dan ia ingin aku tahu posisiku dimatanya. Begini isinya:

Assalammu’alaikum,
My best Ika,
Alhamdulillah, itu kata yang pengen Tury ucapin saat ini, walau tergenang kesedihan membanjiri hati kita, tapi nikmat Allah itu
ada di mana-mana. Ika, walau Tury belum mampu dan belum
bisa bersyukur, Tury akan coba.
Telah datang kini, hari untuk kita mengingat segala yang pernah
terjadi. Yang semoga Allah menjadikannya sebuah ibroh,
karomah yang akan datang kepadamu.
Insya Allah, Ka, persahabatan kita akan lebih memudahkan jalan
yang saat ini sedang kita tempuh. Kita tapaki satu demi satu.
Maafkan Tury yang nggak bisa memberikan yang terbaik,
tapi do’a kadang lebih mujarab. Lebih memberi nuansa cinta
dalam ikatan ukhuwah. Semoga Allah melindungi kita semua
dan memasukan kita kedalam golongan hamba-hambaNya
yang sholeh. Amiin ya rabb.

Good luck to try, to be someone
In your life
Allah, please help my friend
To be your love

Wassalammualaikum.

Tury adalah gadis cerdas, lincah dan pemimpi. Aku sama sekali tak pernah bisa menandinginya. Rangkingku selalu saja ada dibawahnya, kecuali saat kami duduk di kelas 3 SMU. Tury masuk IPA dan Aku IPS. Dalam membuat impian-impian, Tury adalah jagonya. Ia punya banyak mimpi termasuk bertemu dengan group Backstreet Boys dan West Life yang sudah digandrunginya sejak SMP. Ia ingin ke Jepang dan Amerika. Ia ingin menjadi ahli dibidang IT dan kuliah S2 di luar negeri. Hanya saja tekad Tury mungkin tak sekuat tekadku. Kegilaan Tury pada usaha untuk menggapai impian-impian kecil kami tak segila Aku. Dan Tury tak seberuntung aku dalam hal ini.

Selepas SMU Tury tak bisa melanjutkan pendidikannya ke Universitas dan memilih bekerja di sebuah pabrik di Pulau Jawa bersama rekan-rekan kami yang lain. Kupikir, faktor ekonomi bukan satu-satunya alasan bagi mereka untuk hengkang dari dunia mimpi yang pernah kami bangun. Toh keadaan keluargaku tak jauh lebih baik dari mereka semua. Sejak saat itu aku kehilangan Tury yang bersemangat dan kami kehilangan kontak. Bahkan saat liburan Hari Raya Idul Fitri, Tury hampir tak pernah datang ke acara reuni teman-teman SMP dan SMU karena harus segera kembali ke tempatnya bekerja.

Aku kangen pada Tury karena hampir enam tahun lamanya kami tak bertemu. Aku berusaha mencari nomor yang bisa kukontak kesana-kemari. Pada liburan Idul Fitri 2009 aku mendapat kabar bahwa Tury telah menikah dengan seorang lelaki Betawi rekan kerjanya dan telah memiliki seorang putra. Ada sesuatu yang membuatku menangis, menangis untuk Tury. Inilah perempuan, secemerlang apapun otaknya dan setinggi apapun mimpinya, mereka tak bisa melawan sistem sosial yang membuat mereka terkondisikan untuk terus-terusan kalah. Kecuali jika mereka berani melawan. Tak ada lagi Bupati atau Gubernur yang mau membiayai pendidikan anak-anak bangsa yang cerdas, menjadikan mereka dian yang terang bagi bangsanya. Akhirnya kecerdasan mereka ibarat mimpi yang terhapus saat mereka bangun dari tidur dan berhadapan dengan kenyataan yang tak mampu mereka bantah.

Tidak hanya Tury sebagai perempuan yang kehilangan kesempatan untuk meraih mimpi-mimpi karena mahalnya biaya ekonomi dan sosial untuk menjadi seorang mahasiswa. Ada banyak kisah serupa yang kusaksikan begitu miris, bahkan jika mereka anak lelaki sekalipun. Setidaknya aku telah melihat ada tiga orang jenius, yang kukenal dekat sebagai rekan semasa sekolah, yang terkapar dalam dunia remah-remah, yang melanjutkan hidupnya sebagaimana kehidupan orangtuanya yang tak cicipi bangku sekolah.
Mimpiku : Impian Tury akan diwujudkan melalui impian putra-putrinya

Kamis, 29 Juli 2010

HAM (1) : Kenangan Buyat

Masih ingat peristiwa pencemaran Teluk Buyat - Sulawesi oleh akibat limbah tailing dari tambang emas PT. Newmont Minahasa Raya yang berlangsung sejak 1997 yang kemudian dinyatakan tak pernah ada oleh pemeirntah pusat? Gugatan Legal Standing WALHI mewakili masyarakat kalah di pengadilan. Tak lama, sebagian besar masyarakat Buyat yang selama ini bermukim di Pante Lakbah (68 keluarga) melakukan eksodus ke Desa Duminanga, Boolang Mongodow, yang berlangsung tahun tanggal 25-26 Juni 2005. Kisah paling kelam dari kehancuran ini adalah ANDINI. Andini adalah bayi yang lahir dalam keadaan seluruh tubuhnya dipenuhi luka (mirip daging bakar yang penuh bumbu) akibat terpapar merkuri dari tubuh ibunya, sebagaimana ibu-ibu lainnya. Andini meninggal dunia. Andini yang tak berdosa bahkan tak mampu menjadi saksi kuat atas kejahatan lingkungan yang dilegitimasi penguasa. Peristiwa ini tak jauh berbeda dengan kasus Minamata-Jepang atau pertambangan di China. Namun, ini nampak tak masuk akan untuk negeri surga bernama Indonesia. Laut, tanah, pohon, cacing hingga manusia perlahan-lahan hancur seperti dedaunan yang dimamah ulat atau bahkan lebih buruk dari itu. Bencana akibat kejahatan lingkungan bahkan lebih parah dari yang mungkin bisa kita bayangkan, setidaknya dalam persepsiku, sebab akan berlangsung sangat lama, lintas generasi dan lintas zaman.

Kasus ini telah sepi. Tak pernah lagi menjadi pembicaraan publik. Namun, ada pihak-pihak yang tak ingin semua ini dilupakan begitu saja. Kasus ini harus menjadi dongeng sebelum tidur anak-anak Indonesia, agar dimasa depan mereka tidak menjelma sebagai ayah atau ibu yang sanggup meracuni sumber-sumber kehidupan. Denny S.E Taroreh ’Dentar’ mengabadikan kisah tragis ini melalui seni fotografi yang menyayat hati. Kesedihan ini ditambahi pula oleh saja-sajak Jamal Rahman ’warga republik jalanan’, yang mengatakan bahwa surga tak hanya di akhirat.

Sayang sekali, aku tak dapat menghadirkan foto-fotonya. Tak apalah, untuk sementara sajak-sajak Jamal Rahman yang akan kubagi. Hanya ini yang bisa kuberikan untuk korban kejahatan lingkungan ini. Bahwa hatiku sama sedihnya. Untuk para Mama, para Ayah, Anak-anak, burung-burung, ikan-ikan, batu-batu, air, pasir, cacing... semua yang diciptakanNya.

Sepenggal kisah anak Buyat
‘Eksodud ke Tanah Harapan’
-sungguh ini bukan kisah Tanah Perjanjian yang tertulis dalam Kitab-Kitab Tua-

Once upon time in Buyat......
1.
tunggu sejenak Mama!
lihat bekas kaki kami waktu bermain tali tanah
juga ambilkan boneka itu
biar dia bersamaku melupakan jejak
yang sebentar lagi disapu gerimis

2.
jangan adikku!
jangan hapus jejak itu
biar aku yang menjaganya untukmu
biar ibu membendung sungai dimatamu
biara ayah membawa kita
pada jejak baru

3.
maafkan aku mama
aku tahu
sakitku
adalah teror
untukmu

4.
bahwa kemarin aku
senang ikut ayah melaut
karena yakin
kami bisa selalu kembali

bahwa kini aku meratapi
puing-puing ini
bukan sedih, namun sepi membayangi
bahwa besok, aku mungkin mmeilih disini
walau tahu itu tak pasti

5.
mungkin masa lalu dan harapan
selalu bersahabata dengan angin
tetangganya gumpalan awan

tapi mataku
hanya ingin
menyusuri tanah
kepala tak sanggup
mendongan ke atas

6.
masa lalu dan harapan itu
begitu jauh terseret angin
padahal mungkin esok
aku ingin tidur di awan
atau bermain tali tanah
di atas hamparan pelangi

7.
kepulan asap terus meninggi
tinggalkan nyala api
membakar tumpukan
kenangan ini

8.
aroma karbon
menyesakkan rongga dada
di sini harusnya
goropa atau babora yang
dipanggang
sebelum lezatnya terusik
berbagai jenis racun
kami selalu bernyanyi

9.
biru itu
entah kaku
entah menunggu
bukan memburu
tapi waktu
selalalu baru
akan terharu

10.
tepat diujung isakmu itu
mama, aku menangkap
degup kesedihan
kusangka itu pengesalan

11.
aku keliru mama......
tepat di muara airmatamu
aku melihat duka yang membatu
memang dingin dan lembab
tapi aku yakin
disana ikhlasmu bersemayam

12.
tuhan, ada apa ini?
aku tak mengerti
aku tak pernah memilih
memang takdirku
ada disini

akulah Andini
yang kau pilih
kulihat mereka bicara
tanpa kata hanya do’a
(prosesi pemakaman Andini)

13.
tuhan, duka itu
hiruk-pikuk ini
kapan berakhir
tolong redakan
tangis mereka
jangan padamkan
lenteraku

14.
tak ada yang lebih berharga
dari jiwa merdeka
jiwa yang menampik segala iming-iming
jiwa yang menantang segala ancaman
jiwa yang berani menatap mata kuasa
benar, semua harap
selalu hilang di biru cakrawala
tapi cita-cita kita
bukan ditangan siapa-siapa...

15.
kalian tak lagi peduli
kisah ini membuncah
dalam berita atau cerita
kali ini kita seperti
baru saja kalah perang
tapi tak menyerah jadi
tawanan
meski dunia terbahak
kalah menang hanya
perumpamaan
semua sebentar lagi
mengingkarinya

16.
Bukan sekedar
Hanya sepenggal kulit bumi
Kemarin ditinggali
Kini ditinggalkan
Namun jiwa kami disemangati
sekian lambaian

ada gemuruh yang tak terbendung
seperti jutaan buih yang
sebentar dilintasi
kemudian tiba di daratan
asing
sungguh ini bukan kisah yang
tertulis dalam kitab-kitab tua

Duminanga....Land of Hope....
17.
kami telah tiba
dengan memendam luka itu
disini, keringat
segera menetesi tanah
yang sejak kemarin
telah dibasahi air muka
wajah pribumi
selamat datang
di dunia beban!

18.
aku tak lagi bertanya
apakah ayah membawa kail
aku yakin di sini ada lahan
yang siap ditanami
dan bunda jangan ragu
di sini langit lebih biru
meski laut mengharu
bukankah duka itu
telah kita kubur?
memang liangnya,
di tanah seribu kisah

19.
di titik ini
kita belum jauh
tinggalkan kegalauan
seperti camar yang
selalu berkelompok
mari bersama tapaki cadas

20.
aku yakin
langit takkan menelan
kupu-kupu yang kemarin
mengajak kita bergurau

21.
kini hujan itu
benar-benar datang dimatamu
setelah yang kumiliki
hancur terlindas
terik sinar mata kuasa
terinjak kaki robot
bernama modal

betul katamu kawan
hujan tak selalu air
tapi sempat membuatmu basah
sungguh nanti kau akan
rindu pada awan
kawan, haruskah kita
melawan awan

22.
ujung malam akhirnya
memelukmu
dalam kematian
sementara
dan aku bukan sekedar
melayat
andini,
kata-kata juga
mengejarku
seperti
memburu awan yang mencair
diluar jendela
senja ini bawakan aku
hadiah
sebuah siang terbungkuas
kain hijau kusam
yang semenjak kemarin
hanya kau titip pada
langit malam

23.
(membangun bedeng triplek)
Jika sekat-sekat itu sebuah bingkai
Dari asa yang kita punya
Bagiku, bilik ini
Sekalipun semegah istana
Jangan sampai memenjara cinta

24.
padamu ibu aku berjanji
akan tetap mendengar rintih
dari nafasmu
dari desahmu
dari sisa teriakan
yang belum cukup didengar
dalam rangkulanmusemua jelas bagiku
kita masih akan lama
berputar-putar
dalam janji yang entah
berkah atau dusta

Catatan Perempuan Pemimpi (5) : tentang kebahagiaan

p30 Juni 2008

Hatiku berbisik lembut,
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…
Wahai jiwa, berbahagialah…

Catatan Perempuan Pemimpi (4) : lebih dekat lagi ke puncak Gunung Pesawaran

1 April 2008
Berlian malam
Langit bercahaya. Bintang ditaburkan serentak. Menjadi padang berlian yang tersebar dalam gelap. Terjunjung diatas puncak Pesawaran mountain yang berkabut. Menemani zikir sunyi yang hanya terasa megah dihati. Taman Hutan Raya Wan Abdul Racman yang luas ini gelap. Seperti diselimuti jubah malaikat maut yang sedang menunggu perintah untuk mencabut nyawa sesosok makhluk. Tersudut dalam palung yang remang. Menembus katup mata yang tersendat memuji kebesaran-Nya. Ingin kuhitung semuanya, tapi melongok dari jendela saja rasanya tamparan salju menghabisi seluruh energi tubuhku (kalau di Eropa salju itu putih, disini saljunya transaparan: bingung. Xixixixixi...). Semua orang terpasung dingin. Lalu memilih diam meringkuk dibawah selimut lusuh. Tak ada yang bangun dan berkecipak dengan pancuran yang mengalir tenang. Atau bermain-main dengan Tuhan yang sedang bertandang ke bumi. Entah kemana mimpi membawa jiwa-jiwa itu terbang.
Jauh di teluk yang menghimpit pantai, cahaya keemasan berbaris seperti pasukan malaikat yang menjaga tangga menuju istana emas. Seperti bintang yang ditaburkan pada pemakaman agung. Berkerlip dalam hitamnya samudera. Menelisik bilik hati. Aku melihat sebuah kemegahan yang tersungging dari bibir malam yang segera terjaga. Seolah, istana Sulaiman putra Daud sejenak berpindah, berlabuh dari perjalanan menuju surga.

Tempat ini tinggi. Begitu tinggi. Seolah, dengan sampai dipuncaknya bumi yang terhampar telah tergenggam. Sepasang mata indah pemberianNya menguasai seluruh padang hijau. Menjadi hamparan permadani di istana dunia yang maya. Saat mendongak ke langit, seolah pintu Arasy terbuka lebar. Menyambut dengan cahaya dan taburan bunga-bunga surga. Pondasinya yang kokoh menopang langit pancarkan segala kejadian dan perlihatkan betapa setiap perbuatan ada balasan. Seolah cermin yang tak henti bercerita tentang segala yang tercatat dan dilihatnya sepanjang waktu. Riuh dalam bimbang yang memenuhi hatiku. Menjalin helai resah dan basah menjadi sebongkah lelah. Memandang ke teluk yang jauh, kulihat rinai putih penuhi bumi. Memeluk setiap yang terjaga. Menjalin ingatan yang masih tertawa. Perlahan muram dalam sasmita yang menyapa.
Saat waktu begitu dekat dengan keabadian dan ruh yang tidur seakan enggan pulang, mengapa tak ada yang datang padaNya? Tak satupun tengadahkan wajah sendu ke langit tuk ucapkan segala pinta. Apakah neraka menjadi tanpa api? Dia kini dingin dan tak pernah bara. Bahkan lidahnya telah dilumat setan tuk selamatkan pengikutnya? Mengapa saat raja dunia yang dipuja meninggalkan mereka dalam keterpurukan dan kesengsaraan panjang, tak jua mereka berpaling pada Raja segala Raja? Lalu dimanakah logika saat makan harus 3 kali sehari ditambakah bergelas-gelas kopi dan berpiring-piring kue, tetapi dalam 5 kali penyembahan itu mereka hanya datang sekali saja?.

Ah, kuhakimi diriku. Kucambuk perih jiwaku agar tak larut dalam dekapan malam yang menggigit. Apa bedanya diriku dengan mereka? Kupaksa dingin itu menjauh. Kunyalakan perapian dalam relung jiwaku yang sunyi. Cericit burung malam menertawaiku. Mengunyah resahku menjadi mimpi yang tak berujung. Bangun....bangun....bangun....basuhlah wajahmu dalam pancuran itu datang padaNya....datanglah bersama dingin kulit dan hatimu, datanglah.... datanglah.... ”Dan Tuhanmu berfirman, ’berdoalahn kepadaKu, niscaya akan Kuperkenankan doamu...,” (QS.Al-Mu’min:60). Hingga akhirnya pagi datang dalam suasana yang tak pernah berbeda. Basah dan lelah. Dingin dan berkabut. Putih dan diam. Tak ada matahari. Tuhan hanya untuk dipercaya, kukira begitulah pandangan mereka sebab tak ada cahaya dan bekas sujud dikeningnya (Ah, tidak. Semoga ini hanya sangkaanku saja).

Duhai Allah
(Unknown)

Duhai Allah...
Duhai Allah...
Pemilik segala alam raya
KepadaMu bermuara doa
KepadaMu bermuara cinta

Duhai Allah...
Duhai Allah...
Hanya kepadaMu daku mengadu
Ku berdoa hanya padaMu
Ya Allah jangan tinggalkan daku

Duhai Allah yang kuasa
CahayaMu mulia alangkah indahnya
Terangi hati yang lama resah
Tentramkan jiwa yang gelisah
Terangi hati yang lama resah
Tentramkan jiwa yang gelisah

Duhai Allah...
Duhai Allah...
Rinduku biru hanyalah milikMu
Dekatkanlah daku denganMu
Ya Allah jangan tinggalkan daku

Duhai Allah yang kuasa
CintaMu mulia alangkah indahnya
Sirami hati yang lelah resah
Teduhi jiwa yang gelisah
Sirami hati yang lelah resah
Teduhi jiwa yang gelisah

Diary (2) ; 29 Juli 2010


Surat yang urung kukirim pada beberapa orang kawan:

Pada tanggal 2 Juli, dapat sms dariku yang bunyinya begini, “Kawan2. Hari ini WALHI bersama NGO lain & Pak Anang dari DPD RI akan melakukan mediasi konflik antara BBTNBBS dan masyarakat Tanggamus. Mohon doa untuk kelancaran segala sesuatunya,”, kan? Beberapa kawan memberikan semangat dan dukungan. Bahkan beberapa kawan dari gerakan perempuan siap membantu. Sebenarnya aku membutuhkan respon untuk menjaga api semangat. Aku hanya suka berbagi pengalaman dengan beberapa kawan, untuk memperkaya pengetahuan dan memperluas jaringan.  Di WALHI aku belajar, “sehebat apapun kamu, tanpa berjaringan, kamu bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa’. Aku percaya bahwa setiap orang tengah berjuang untuk bangsa ini, dengan caranya masing-masing. Satu-satunya cara untuk menjaga api semangat dalam perjuangan adalah dengan menjaga kebersamaan. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.

Saat itu aku sedang dalam perjalanan menuju Tanggamus, tepatnya ke lokasi konflik yaitu di Pekon Pesanguan Kecamatan Pematang Sawa. Aku, Direktur WALHI, seorang relawan WALHI, Pak Anang Prihantoro dari DPD RI, kawan-kawan dari Yasadhana, Sertani, KPA dan SPI akan mengadakan semacam dengan pendapat dengan masyarakat dua Dusun yang pada tanggal 8 Juni 2010 lalu mengalami kenaasan karena gubuk-gubuk mereka dibakar dan tanaman-tanaman mereka dibabat Polhut (lucu kan: konservasi kok membakar gubuk & membabat tanaman. Padahal karbondioksida hasil pembakaran adalah salah satu penyebab pemanasan global dan ditebangnya pepohonan berarti melepaskan sekian persen CO2 ke udara dan hilangnya kesempatan produksi oksigen oleh pepohonan. Konservasi keblinger!). Sayang sekali, aku gak bisa ngitung rumus kimianya (berapa m3 karbondioksida yang dihasilkan pembakaran 44 unit gubuk beserta segala isinya, berapa m3 karbondioksida yang tidak terikat akibat ditebangnya sekitar 20.000 batang pohon coklat dan kopi serta ratusan pohon durian, petai dan duku?). Sebab bicara konservasi pasti bicara pengikatan karbon oleh pepohonan dan minimalisasi pelepasan zat-zat kimia lainnya ke udara seperi zat metan akibat pembakaran dan pembusukan dedaunan/humus.   

Pertama-tama, kami mampir di kediaman Kepala Pekon Way Nipah. Wah, beliau berceloteh (marah tepatnya) tentang kesewenang-wenangan pemerintah (ya Dephut, ya BBTNBBS, ya polisi, ya TNI, ya Polhut, ya...semua yang terlibat dalam peroses pembodohan masyarakat). Beliau menyesalkan kesembronoan pemerintah dalam membodohi masyarakat dengan dalih pelestarian hutan. Padahal, sejarahanya, kegundulan di sebagian wilayah TNBBS disebabkan oleh HPH beberapa perusahaan seperti PT Andatu yang beroperasi tahun 1970-an. Masyarakat yang berdatangan ke lokasi tersebut hanya memanfaatkan lahan eks Andatu yang tinggal ilalang (pohonnya – yang menjadi balok-balok kayu dan logs- udah habis diekspor entah kemana). Sementara itu, wilayah tersebut ditetapkan sebagai hutan konservasi dengan status Taman Nasional pada tahun 1985, itu pun karena sebagian wilayah adat masyarakat Lampung diserahkan kepada negara. Nah, duluan mana antara masyarakat yang mengelola wilayah tersebut dengan penetapan sebagai TN? Kenapa juga harus ditetapkan sebagai TN? Gak logis kan klo negara maen usir gitu aja?!

Pak Peratin menegaskan kekecewaannya pada egoisme negara. Negara selalu bicara hukum, undang-undang, peraturan dan segala hal yang mengikat, tapi negara tidak pernah membuat masyarakat melek hukum. UU Kehutanan itu apa sih isinya sehingga ketika bicara pengusiran masyarakat harus mematuhi UU tersebut? Sesakral apakah UU tersebut? Memangnya negara pernah melakukan sosialisasi ke masyarakat di lapisan paling bawah tentang isi dan substansi UU tersebut dan UU lainnya?! Anggota dewan juga sama aja sikapnya (pas kampanye mereka berduyun-duyun nyari dukungan hingga ke pelosok-pelosok, tapi pas udah jadi mengerut semua di balik kursi dengan 1001 alasan). Masyarakat mau mengadukan perkara ini kemana?

Memasuki kawasan hutan adat untuk kesekian kalinya, aku merasa sumringah sebab keindahan orisinil yang terhampar di teluk Semaka. Hutan yang lebat dengan kabut yang saling berjalinan diantara pepohonan. Subhanalloh, keadilan macam apakah yang hendak ditegakkan negara di tanah ini? Negara sellau mengklaim wilayah-wilayah indah seperti ini sebagai miliknya, namun tidak digunakannya untuk kehidupan rakyat melainkan sebagai pintu masuk investasi bisnis konservsi dari negara asing yang dibantu NGO konservasi.

Di perjalanan, sebelum masuk ke lokasi pertemuan, aku melihat sisa-sisa pos Polhut yang katanya dibakar masyarakat. Dibakar masyarakat? Dibakar oknum yang memancing di air keruh? Atau dibakar Polhut sendiri untuk mengkambing hitamkan masyarakat? Tak ada yang melakukan identifikasi di TKP. Tak ada juga police line. Namun, itulah saksi atas akumulasi kepentingan yang bertolak belakang, bahwa negara selalu menganggap rakyat sebagai musuh.

Masyarakat sudah menunggu sejak pukul 10 pagi dan kami baru tiba ba’da dhuhur. Tak apa lah. Mereka menyambut kami semua dengan tatapan penuh harapan dan bahasa penyambutan yang sederhana. Lalu kami diajak untuk makan siang bersama di sebuah rumah. Subhanalloh, di tengah krisis pasca penghancuran harta benda, mereka masih sanggup menyediakan menu yang mewah (ada sambal ikan laut, sayuran, lalapan, kerupuk, dll), padahal mereka sudah gak punya uang, dan padahal sehari-hari mereka hanya makan nasi dengan garam atau lauk ikan asin dan sambal saja. Aku bertemu dengan masyarakat Pekon Pesanguan (dampingan WALHI) dan mereka menyambutku dengan sangat ramah, ”Terima kasih sudah mengunjungi kami, Mbak.” dan beberapa ibu memelukku seperti biasa, dengan pelukan yang hangat dan mesra, layaknya seorang ibu pada putrinya sendiri.

Pertemua berlangsung dalam guyuran hujan yang cukup lebat (gubrak! Tendanya rubuh), untung saja pertemuannya berlangsung di Mushola, jadi tenda rubuh pertemuan tetap berlangsung. Masyarakat menyampaikan luapan perasaan mereka, kekhawatiran, dan solusi yang mungkin bisa ditawarkan kami. Bang Muhlasin dari SPI menerangkan bahwa negara ini telah gagal dalam mengelola sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat sebagimana amanat UUD 1945 dan dalam melakukan re-distribusi tanah kepada rakyat sebagaimana yang diamanatkan UUPA 1950. Negara lebih suka terlibat dalam ’bisnis konservasi’ internasional yang menjadikan hutan sebagai produk unggulan. Mengapa pula negara harus mati-matian menjaga kelestarian hutan demi kepentingan negara-negara industri yang tidak mau mengurangi emisi karbonnya karena khawatir pada terjadinya pengangguran di negara mereka?

Sederhananya begini: saat negara terperangkap dalam gurita carbon trade/ dagang karbon dengan skema Reducing Emmission from Degradation and Deforestation / REDD, negara telah membantu negara-negara industri untuk tidak menurunkan emisinya akibat proses produksi. Namun, secara bersamaan negara berarti telah melakukan penjajahan secara struktural pada penduduk yang mengelola hutan, yang bermukim di sekitar dan didalam kawasan hutan, dan dengan sendirinya mereka terusir dari sumber-sumber kehidupannya. Kalau masyarakat tidak memiliki sumber-sumber kehidupan, berarti mereka harus menjadi buruh untuk sesuap nasi, dan diantaranya menjadi TKW/TKI ke negara-negara entah berantah. Nah, zaman modern kok perilaku manusia makin primitif ya?

”Merinding,” ucap beberapa orang saat mendengarkan orasi Direktur WALHI. Gimana enggak, WALHI kok dibilang provokator. Ya, marah besar lah. Memprovokasi masyarakat nganggo opo? WALHI berjuang untuk mewujudkan keadilan lingkungan. Keadilan lingkungan akan tercipta manakala terjaganya keseimbangan antara pelestarian hutan dan segala ekosistemnya termasuk akses masyarakat. Selama ini, negara memandang bahwa hutan ya tegakan pepohonan dan hewan-hewan yang ada didalamnya (kehidupan liar/wildlife), namun mengesampingkan keberadana manusia. Mengapa harus mengesampingkan manusia? Memangnya akan sebagus apa sih pelestarian alam tanpa campur tangan manusia. Gak ada gunanya bumi ini tanpa manusia? Kalau konsep konservasi di Indonesia meniru habis-habisan konsep konservasi Inggris, Eropa dan Amerika, ya itu namanya kita kembali ke zaman feodal. Sebab dalam konteks mereka, hutan konservasi diciptakan untuk kekuasaan dan kesenangan penguasa/ keluarga kerajaan dan itu menjadi plot mereka untuk mempertaruhkan gengsi antar negara. Konservasi di Indonesia harus berlandaskan pada kearifan lokal budaya Indonesia. Ngapain juga melihara hutan tropis kita memakai konsep konservasi negara-negara yang nggak punya hutan tropis.

Kemarahan WALHI dilatarbelakangi adanya pemberitaan yang mengatakan bahwa diindikasikan WALHI ada dibalik pembakaran Pos Polhut dan proses pembangkangan masyarakat. Mancing? Boleh. Sebagai organisasi lingkungan WALHI memiliki hak gugat ke pengadilan atas kerusakan yang dibiarkan BBTNBBS. Jika BBTNBBS mengklaim sudah melakukan upaya pelestarian hutan, kok bisa ada 16.000 KK yang mengelola di TNBBS selama sekian tahun? Artinya, BBTNBBS memang melakukan pembiaran hingga masalahnya semkain besar dan sulit ditangani. Kalau sudah 16.000 KK, bagaimana coba negara mau melakukan relokasi? Jumlah itu nggak sedikit, sementara tanah di Lampung ini sudah banyak dikapling para penguasa dan pengusaha. Dan rasanya tidak adil jika masyarakat yang sebanyak 16.000 KK yang hanya mengelola rata-rata 2 ha, hanya untuk penghidupan, diusir dan dianggap sebagai pencuri sementara Tomy Winata mendapatkan konsesi sekian ratus ha dan membangun TWNC/ Tambling Wildlife Natute Conservation, didalam lokasi TNBBS, untuk kesenangan para ilmuwan dan turis asing, dan mengambil keuntungan pribadi dan popularitasnya dari mekanisme dagang karbon (Tomy Winata adalah pengusaha yang peduli lingkungan. He..he...peduli lingkungan ya iyalah wong itu produk bisnisnya, dan menendang masyarakat. Masyarakat adat marga Belimbing di tanah Enclave aja nyaris ditendang demi pelestarian harimau dan buaya).

WALHI menyadari, bahwa untuk melakukan gugatan ke pengadilan membutuhkan dana yang cukup besar, menyita waktu dan pikiran. Aroma kekalahan sudah tercium, sebab belajar dari gugatan Buyat dan Lapindo. WALHI sebagai wakil masyarakat dan ekosistem kalah karena energi untuk menang sangat tipis (WALHI gak ada uang untuk bayar advokat handal dan membiayai prosesnya yang cukup mahal termasuk untuk melakukan riset mendalam). Maklum, NGO Advokasi jauh lebih miskin daripada NGO konservasi macam WWF, WCS dll. Mari selesaikan di luar pengadilan, dengan cara kekeluargaan. Selesaikan dan semoga ada win-win solution. Direktur juga mewanti-wanti masyarakat agar berhati-hati pada oknum yang ’menjual’ nama WALHI untuk mengeruk keuntungan pribadi. Karena posisi WALHI sering membuat oknum tertentu nekat membodohi masyarakat. Kepercayaan masyarakat yang tinggi pada WALHI sering membutakan mereka untuk tidak lagi mengoreksi oknum yang menipu mereka atas nama WALHI. Intinya, relasi antara masyarakat dan WALHI adalah: WALHI tidak memberi/ meminta uang pada masyarakat dan masyarakat tidak memberi/ meminta uang pada WALHI. WALHI hanya melakukan mediasi dan masyarakat harus melakukan swadaya untuk membangun kekuatannya.

Kalau pak Anang, ya bicara hal-hal normatif, maklum kan beliau pejabat negara. Motivasi, permohonan maaf dan sebagainya yang beliau sampaikan.

Apa hasil pertemuan ini?
Tanggal 9 Juli, kami dan para stakeholder akan melakukan pertemuan lanjutan (difasilitasi DPD RI) guna merumuskan sikap masyarakat terhadap hal ini. (bayangkan: masyarakat mengatakan bahwa mereka siap perang melawan BBTNBBS, bisa tambah kacau kan suasana?! Masa iya mau perang saudara kayak jaman dahulu kala). Hasil pertemuan ini akan dibawa ke hearing dengan DPRD Provinsi dan para pihak yang lebih banyak lagi, bulan Juli.

Di perjalanan (pergi –pulang) kami semua ngoceh tentang hasil pemilukada di beberapa kabupaten/kota. Kami semua (entah siapa yang milih) adalah termasuk golput alias kagak milih. ”Memilih adalah HAK, tapi kami menggunakan HAK untuk TIDAK MEMILIH.  Gak pernah ada yang diperbaiki, ngapain milih? Jadi oposan saja. Hidup rakyat! Hidup golput!” Kami bicara soal pembelian suara (oleh sembako dan kaos), sehingga pemilukada ini menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan para pemilik kerajaan di masing-masing kabupaten/kota. Kami biacara tentang kecerdasan para penguasa dalam melanggengkan kesetiaan para TS di daerah. Kami biasa tentang prediksi corak kepemimpinan di 5 hingga 30 tahun mendatang. Kami bicara tentang siapa penguasa yang ATMnya basah. Juga bicara tentang ketidak-independensi-an KPU. Mana ada yang netral di dunia ini! Person-person di KPU adalah milik para penguasa. Reformasi tak kalah kejam dari Orla dan Orba. Kekejaman, kelicikan dan kepicikan yang dilakukan terang-terangan.

Waktu menunjukkan pukul 22.30 wib saat kami memasuki Bandar Lampung. Alhamdulillah, satu langkah perjuangan sudah dilakukan. Hari ini, kami semua harus istirahat untuk melanjutkan perjuangan-perjuangan lainnya esok hari. Masyarakat sudah menanti solusi terbaik dari para pihak. Apa yang akan kulakukan? Aku sudah punya tugas yang lumayan berat. Harus bersiap-siap.

Key word dari pertemuan ini adalah: Petani adalah tanah. (seperti nelayan adalah laut)

Tanpa tanah mana ada petani. So, petani harus merebut akses kelola atas tanah agar bangsa ini dapat bertahan dan merdeka dari ketertindasan ’penjajahan’ pangan. Tanpa petani yang gigih berjuang itu, yang disebut pencuri oleh bangsnaya sendiri, mungkin sudah sejak lama bangsa ini gak punya hutan-hutan yang dibanyak tempat masih terjaga. Berterima kasih lah pada petani yang telah memasok pangan negeri ini.

Wallohu ’alam.

Save and keep my letters. I trust you.  

Catatan Perempuan Pemimpi (3) : Puisi - puisi

21 Januari 2008
Hari Penuh Tangisan
(Puisi untuk kaum yang dilindungi Undang-Undang tapi ditelantarkan Negara)

Diujung gang
Meringkuk

Kesturi keringat orang
Sebungkus roti jatuh

Ia beringsut
Gagu

Sepunggung harapan
Rasai asap makanan

Menatap saja
Dibiarkan

1,2,3,4,5 … 10
Bingung

Hujan satu-satu
Landai dipangkunya

Oo, orang-orang lewat saja.

Diary (1), 28 Juli 2010


Catatan kecil:
Apa yang sesungguhnya dilakukan para pejuang, sehingga dunia menggelari mereka sebagai ‘pahlawan’? apakah setiap mereka yang digelari pahlawan merupakan seorang pejuang? Bagaimana dengan mereka yang tak tersentuh media sehingga jejaknya hilang dan tak pernah ditemukan, ibarat lumut yang terkubur akar beringin? Mungkin saja, sesungguhnya setiap orang adalah pejuang dan  layak digelari sebagai pahlawan.

Hari ini aku kembali menyaksikan drama kehidupan yang coba dikendalikan oleh para pejuang di kelas sosial rendah. Sebab kita bukan siapa-siapa dan mesti menggandeng tangan mereka yang berada di kelas sosial tinggi agar perjuangan ini dapat menjalankan mesinnya. Bangsa ini memang tak mengenal perbedaan kelas secara implisit, namun kelas sosial itu ada dan nyata. Kita yang miskin, bodoh, rendah dan kurang pengetahuan akan merasa rendah diri dihadapan mereka yang kaya, intelek, memiliki kekuasaan dan menguasai pikiran publik. Setiap orang nampaknya menyadari kedudukannya sehingga memposisikan diri dalam  ketidakseimbangan kelas yang nampak tak tampak.

Seperti saat bicara mengenai indikasi alih fungsi kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Way Halim Kota Bandar Lampung yang kelak akan menjadi sentra niaga. Ada sesuatu disana: tentang uang dan kekuasaan. Bahwa uang bisa membeli apapun termasuk benda yang menjadi milik publik, yang selama ini dilindungi guna menjaga alam agar tetap ramah kepada manusia. Bahwa kekuasaan dapat menundukkan kesetaraan status diantara sesama manusia. Kekuasaan dapat menumpulkan idealisme, impian, ketajaman pikiran, cinta, kasih sayang, kebersamaan, dan kesederhanaan. Uang dan kekuasaan dapat mengubah apapun yang dalam konteks perencanaan ‘kebaikan dan keadilan’ menjadi  konteks perencanaan besar ‘terbangunnya kerajaan bisnis yang langgeng’.

Dalam segitiga interaksi sosial: rakyat, penguasa dan pengusaha, pejuang selalu mendudukkan diri di posisi tengah. Sebagai mediator, meski terkadang sebagian diantara mereka kemudian banyak yang terserap ketiga sudut tersebut. Ada yang lelah dan memilih diam sebagaimana kebanyak rakyat yang hanya bias menangis saat dirinya ditindas kekuasaan dan uang. Ada yang kemudian tergiur untuk duduk di posisi aman dan terserap kedalam lingkaran rezim penguasa yang kemudian menumpulkan idealismenya. Ada yang kemudian memilih jalan untuk bekerjasama dengan pengusaha dan menikmati manis-anyirnya limpahan harta. Aku tak ingin membayangkan bahwa kelak mungkin aku akan mengalami apa yan dialami para pejuang yang terserap itu. Ada banyak kemungkinan yang hari ini tak pernah bisa diperkirakan, sebab terkadang jalan yang dilalui manusia harus berbelok tajam tanpa disangka-sangka dan tanpa rencana.

Dalam keyakinanku hingga saat ini, perjuangan merupakan jalan yang semakin dilalui semakin berat medannya. Dalam lingkaran zaman yang kacau balau ini, terkadang kuita tertipu oleh mereka yang menebar kabut di perjalanan sehingga terkadang sulit membedakan antara siapa pejuang, siapa pengkhianat dan siapa yang sekedar memanfaatkan momen untuk mengeruk keuntungan pribadi. 

Aku melihat semangat, ketika para pejuang dari kalangan nelayan tradisional itu begitu menggebu-gebu dalam meraih impian bagi kemaidian dan keadilan para nelayan tradisional di Lampung. Aku tak bisa membantu banyak. Aku hanya membantu hal-hal yang remeh-temeh. Namun, aku merasa bahagia sebab telah dapat meringankan pekerjaan mereka dalam rencana besar menyatukan kedaulatan nelayan tradisional Lampung. 

Jadwal kegiatan: 
1. Deklarasi Nelayan Tradisional Lampung (SENTRAL), tanggal 01 Agustus 2010 di Pekon Kunjir Kabupaten Lampung Selatan. 
2. Diskusi  mengani posisi petani pasca keluarnya PP No. 18 tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman di sekretariat Serikat Tani Indonesia (Sertani) Lampung. di Pahoman Bandar Lampung, pukul 09.30 wib.
3. Selama Agustus menggali data kesuksesan SHK PBL. 
4. Selama Agustus buat kelarin Novel untuk lomba menulis dari DKJ

Impian: 
Cinta. Kali ini hanya tentang cinta. 

Rabu, 28 Juli 2010

Catatan Perempuan pemimpi (2) : Puisi-puisi

19 Januari 2008
Puisi-puisi (Aku kagum pada Chariril Anwar dan Rendra)
 
Puisi pertama,
Judul: Bilangan Ganjil

1
Satu

3
Tiga

5
Lima

7
Tujuh

9
Sembilan

11
Sebelas

13
Tiga Belas

15
Untuk seorang teman: DIA 1 atau 3?

***
Puisi kedua,
Judul: Menghitung Mundur

100
Mimpi mati

90
Lorong panjang

80
Sejumput cahaya

70
Antara

60
Dongeng tentang Surga

50
Malaikat seribu mata

40
Bulan Sabit

30
Ibu disampingku

20
Merapatkan selimut

10
Maukah ibu ceritakan tentang mimpi mati?

1
Selesai gosok gigi

***

Puisi ketiga,
Judul: Mereda Marah

Diam
Duduk saja
Pulang

***

Puisi keempat
Judul: Cukong

Swarna Dwipa,
Berdasi putih
Dia

Borneo,
Kini dasinya biru
Dia lagi

Negeri para Raja,
Batik paling mahal
Ya…dia lagi

Pulau Burung Surga
Kali ini tak berdasi
Tetap saja dia

Negeri para Sultan
D-I-A
Capek deh…

Siapa?
Mana kutahu!
Mungkin bapakmu.

Catatan Perempuan Pemimpi (1) : 2010 ke Cahaya

Ke 2010
Menuju Cahaya…





Cinta, jika kau benar ada, katakan padaku siapa dirimu?
Apakah kau harus menjadi satu-satunya topik abadi selain tentang Tuhan?
Jika aku meragukanmu, apakah kau akan meyakinkanku
dan menunjukkan bahwa kau ada? Dan jika aku menolakmu,
apakah kau sanggup menerobos hatiku yang beku?
Aku mencarimu di langit malam,
Aku mencarimu di dalam udara,
Aku mencarimu di permukaan dedaunan,
Aku mencarimu diperjalanan sungai-sungai,
Aku mencarimu pada manusia,
Kau tak ada,
Kau tak ada,
Kau tak ada.

***

Empat

What do you want? Ya, apa yang kuinginkan? Bukankah apa yang kuiinginkan dalam hidup menjadi lebih penting daripada menjalani hidup itu sendiri? Bukankan diriku tahu bahwa menginginkan sesuatu didalam hidup adalah yang membuatku memiliki alasan untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu? Bukankah Aku tahu bahwa hidup memiliki alasan? Bukankah Aku tahu bahwa menjalani pilihan hidup harus memiliki alasan? Bukankah Aku tahu bahwa kematian dipilih atas sebuah alasan? Bukankah selama ini Aku berdo’a kepada Allah swt agar diberi kekuatan untuk menjemput mimpi-mimpiku? Bukankah selama ini Aku selalu menyatakan pada diriku sendiri, bahwa aku boleh berhenti bermimpi jika aku telah melewati gerbang kematian?

What do you want? Apakah Aku menginginkan sesuatu? Apa yang kuiinginkan? Apakah sebenarnya Aku tak menginginkan apa-apa? Apakah sebenarnya Aku tak benar-benar memiliki keinginan? Apakah semua hal yang telah kulakukan bukan bagian dari keinginanku? Apakah keinginan yang kuinginkan hanya sebuah potongan kecil, atau mungkin potongan dari sebuah potongan, dari mimpi-mimpi yang tidak logis? Apakah semua yang pernah kuinginkan hanyalah bagian dari imajinasi dunia mimpi? Apakah semuanya buyar saat Aku terbangun dari tidur? Mana nyata, mana mimpi?

I want...? Apa keinginanku? Mengapa Aku menjadi lupa pada keinginanku? Apakah hatiku mendadak mati rasa? Awalnya Aku punya banyak mimpi. Aku memulai dan menutup hari dengan mimpi-mimpi. Denyut nadiku adalah mimpi. Degup jantungku adalah mimpi. Nafasku adalah mimpi. Hidupku adalah mimpi. Kematianku adalah mimpi. Saat aku masih kanak-kanak, aku bermimpi punya boneka untuk menemaniku tidur dan untuk kupamerkan pada teman-temanku. Namun, Bapakku tak mengerti bahwa anak perempuan membutuhkan boneka untuk menghidupi keriangan masa kanak-kanaknya. Pada akhirnya aku membeli boneka pertamaku saat study tour ke pantai Pasir Putih, disaat-saat terakhir masa sekolahku di SD N 1 Sukapura. Boneka itu tak lama hancur oleh sepupu-sepupu kecilku yang merobek-robeknya bagai sekumpulan kapas. Ya, tak apa-apa. Setidaknya aku berhasil meraih mimpi kecilku dengan usahaku.
Hari ini, semua mimpi bagai omong kosong.

Aku telah bangun. Menyadari diri sepenuhnya hidup dalam dunia logis, bukan dunia imajinatif. Aku bukan lagi gadis kecil yang tengah menunggu Ibunya pulang. Aku bukan lagi gadis kecil penurut yang menantikan hadiah dari Bapaknya, yang tak pernah diperolehnya seumur hidupnya, atas kepatuhan, prestasi dan kerja kerasnya. Kini, aku harus menyadari keadaan yang sebenarnya: bahwa aku adalah perempuan biasa yang terlalu sibuk menuliskan mimpi-mimpinya.

Apa yang akan kulakukan setelah ini? Mungkin, dengan berat hati Aku harus menghapus banyak mimpi dan harus dengan sukarela menceburkan diri dalam dunia nyata, dengan kewajiban-kewajiban hidup yang berat. Mungkin, Aku akan hidup bersama keajaiban, yang datang secara tiba-tiba dan dari arah yang tak disangka-sangka. Ya, sebaiknya begitu. Atau hidup bersama apa saja yang ada di dunia nyata.
Bintang-bintang.
Mimpi-mimpi.